Senin, 28 Februari 2005

Provokatif dan Menggelitik

Provokatif dan Menggelitik ini adalah komentar atas sebuah cerita pendek berjudul "Tuhan, Kencan Yuk!" di situs berita Depok Metro:
Di mulut kolong bawah jembatan jalan tol lingkar luar Jakarta tepatnya di Bintara, Bekasi Barat, menjelang peringatan kemerdekaan RI ke 59, muncul gambar pahlawan tetapi bukan Teuku Umar, Imam Bonjol atau Diponegoro, melaikan Che Guevara, Kurt Cobain, John Lennon. Ketiga nama disebut terakhir memang berlainan latar belakangnya, tapi semuanya meninggalkan ajaran, karya atau setidaknya perjalanan hidup yang bisa dibilang "kiri" atau berbau kiri, ketiganya berambut gondrong dan ketiganya mengalami kematian yang tragis...
Memang kiri itu bukan tengah dan bukan kanan, bukan tengah itu extraordinary atau orang Jawa bilang “nyleneh”. Yang extraordinary itu menarik perhatian, maka ketika mencari jati diri dan agar dapat perhatian remaja sering berperilaku nyleneh. Nyentrik istilah tahun 1970-an dulu...
Tahun 1968 Majalah Sastra memuat sebuah cerpen berjudul "Langit Makin Mendung" (LMM) karya karya Ki Pandji Kusmin (KPK) yang kemudian jadi kontroversi. Siapa sebenarnya Ki Pandji Kusmin itu adalah misteri, HB Jassin (Pemimpin Redaksi) di sidang pengadilan bahkan sampai akhir hayat beliau tidak pernah membuka jati diri KPK. Isi cerpen itu bagi sementara orang memang provokatif dan menggelitik, karena digambarkan Nabi Muhammaad bosan di sorga, lalu mohon kepada Tuhan untuk cuti turun ke bawah (turba istilah populer ketika itu). Kunjungan ke kawasan kumuh di Senen Jakarta ternyata berhasil menyaksikan kebobrokan moral bangsa Indonesia termasuk pemimpin tertingginya waktu itu yakni Bung Karno...
Tiga puluh tujuh tahun kemudian, lantaran Senen sudah sumpek, setting beralih ke sebuah kamar kos yang dalam bayangan saya di daerah pinggiran Jakarta, seperti sekitar Margonda atau Kukusan di Depok sana. Mungkin karena jaman memang sudah berbeda atau karena publikasinya kurang luas karena hanya lewat website, sehingga cerpen ini luput dari perhatian. Motif kehadiran Tuhan di kamar kos itu-pun tidak jelas seperti ketika Nabi turun ke Senen. Kehadiran kali ini hanya dekat dengan dunia kos-kosan saja.... kalau nggak ngobrol, main game playsyaiton (....eh maksudnya playstation) tentu saja kencan, atau keseharian biasa remaja di kamar kos. Tetapi ada yang sedikit aneh, mengapa dunia komputer dan internet sama sekali tidak disinggung dalam cerpen ini.
Kehadiran Tuhan-pun juga agak meragukan, karena figur yang tidak jelas, satu-satunya bukti otentik hanya sepucuk surat tanpa perangko... sehingga bisa saja ditafsirkan bahwa yang hadir itu sebenarnya bukan Tuhan tetapi hanya yang dipertuhankan, tuhan-tuhanan atau tuhan jadi-jadian... atau jangan-jangan malah "...tu-han-tu… han-tu…" alias "penampakan....."
Dulu di kampung sana ada koran bahasa Jawa "Dharma Kandha" (kemudian pecah dan punya kembaran bernama "Dharma Nyata") yang terkenal sekali di kalangan akar rumput karena ramalan buntutan NALO yang konon jitu. Di koran itulah Arswendo Atmowiloto melalui tokoh Min Pedet (Pijet) menulis.. "seandainya ada pengumuman dari surga Tuhan telah mati.. apakah masih ada orang yang mau menyembah juga?"... Tulisan itu meskipun sempat jadi polemik, tidak tidak membuat Arswendo didemo atau diseret ke pengadilan. Barangkali dia tertolong dengan kata "seandainya"...
Jadi sebenarnya sudah dari dulu cerita semacam itu ada. Meskipun begitu, dalam benak hingga kini masih terpatri keyakinan, bahwa Tuhan yang sebenarnya tidak akan berkurang kemuliannya hanya karena dilecehkan oleh seorang anak manusia...
Namun masih ada pertanyaan yang akan menimbulkan perdebatan... apakah Tuhan itu masih perlu dibela???
Jawabnya terserah anda..

Selasa, 22 Februari 2005

Memahami bencana apa adanya

Bencana terjadi bukan diakibatkan oleh alam yang membangkang ataupun menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan atasnya. Bencana justru terjadi karena alam tunduk kepada takdir Ilahi yang telah ditetapkan kepadanya.
Ketika terjadi banjir, itu akibat sunatullah bahwa air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Ketika air hujan ditumpahkan namun tidak bisa meresap ke dalam tanah sedangkan ketika akan mengalir jalannya terhalang, maka air akan mencari jalan lain dengan meluber ke kanan-kiri atau menerjang segala rintangan tanpa peduli bahwa di situ telah dihuni oleh manusia. Bumi ditakdirkan memiliki kerak dengan lempengan-lempengan yang selalu bergeser sedikit-demi dan saling desak satu sama lain, sehingga kalau desakan semakin kuat, pada suatu saat kedua lempengan akan melenting sehingga energi yang telah terkumpul bertahun-akan tahun akan dilepaskan mendadak sehingga terjadilah gempa bumi. Seperti efek domino, gempa bumi dapat mengoncang massa air laut sehingga terjadi gelombang tsunami yang menyapu daratan dan menimbulkan musibah dahsyat yang mengancam alam dan kehidupan termasuk manusia.
Walaupun sebelumnya tidak selalu bisa diprediksi dengan tepat kapan bakal terjadi, bencana umumnya bisa diterangkan logika prosesnya. Proses bencana terjadi menurut hukum-hukum Allah yang dapat dipahami oleh akal manusia, maka bencana itu bukan terjadi dengan tiba-tiba melainkan terjadi sesuai sunatullah yang berlaku padanya. Ummat yang berada di daerah bantaran sungailah yang akan mengalami bencana banjir, ummat yang tinggal di dekat patahan kerak bumilah yang akan mengalami gempa, tidak selalu ada korelasi antara kezaliman dengan bencana yang menimpa.
Dengan perspektif pemahaman seperti itu, dalam terjadinya bencana, Allah tidak kejam semena-mena meskipun memiliki kuasa untuk berlaku demikian. Karena sunatullah itu berlaku universal, bencanapun tidak pernah memilih apakah yang akan tertimpa adalah seseorang yang beriman dan banyak amal saleh ataupun orang yang ingkar dan tidak dalam hidupnya tidak pernah ada nilai kebaikan.
Hukum atau kodrat alam-pun tidak berubah hanya karena sebuah bencana, maka gempa bumi, tanah longsor, tsunami sangat mungkin akan terjadi kembali. Sungguh suatu kerugian yang sangat besar apabila kita tidak bisa mengambil hikmah atau pelajaran berharga dari bencana yang pernah terjadi, yakni untuk memahami bencana itu sendiri maupun mengantisipasi bila terjadi kembali di masa yang akan datang.