Rabu, 30 Maret 2005

Bom bu Minah

Sore-sore Kadirun cerita ngecuprus, ndongeng tentang Bu Minah Wadud yang jadi imam dan khotib sholat Jumat (yang tepat imamah dan khotibah… soalnya perempuan) dengan jamaah campuran lelaki dan perempuan. Menurut Kadirun, apapun alasannya perempuan nggak bisa jadi imam bagi lelaki. Alasannya, kalau perempuan jadi imamah, ketika rukuk atau sujud, makmum lakinya sulit konsentrasi karena membayangkan pemandangan indah yang tersaji di depannya... Lagian suara imam perempuan yang merdu akan

membuat makmum lelaki membayangkan Krisdayanti pakai baju seksi atau Britney Spears pake bikini.
Namun kang Tomedjo kurang setuju, karena orang sholat itu kudu konsentrasi, jadi nggak mungkinlah orang sholat bener mikir yang nggak-nggak apalagi yang mesum seperti itu.
“Lagian bu Minah iku sudah setengah baya.. dan beliau itu kompresor eh.. propessor ahli agama, jelas mumpuni di bidang itu, bacaan Quran dan Arabnya sudah pasti faseh... saya kira kok pantes-pantes saja jadi imam. Apalagi.. kalau kebetulan di situ dia yang terbagus bacaan Quran maupun ilmu agamanya, lainnya termasuk kaum lakinya yang bisa baca Quran cuma blekak-blekuk dan ilmu agamanya juga pas-pasan... apa lalu dipaksa jadi imam atau khatib dan bu Minah jadi makmumnya?. Dalam ibadah itu kedudukan laki dan perempuan itu kan sama, wong sama-sama diganjar.. kalo ingkar ya sama-sama dosa kok”.
Kang Saimo ikutan nimbrung, “Nek tak pikir-pikir.. itu kan ada hubungannya gerakan persamaan gender yang sudah ada sejak jaman bu Kartini dulu. Lha aku dengar orang Departemen Agama ada yang ahli persamaan hak gituan kok. Kalau nggak salah namanya bu Musdah Mulia yang katanya mengharamkan poligami dan usul supaya laki-laki punya massa idah juga, biar para lelaki tukang kawin tidak lagi bisa mempermainkan wanita”.
“Lho Mo.... perempuan mau nuntut persamaan apalagi? Jangan nuntut... kalau dasarnya cuma rasa iri dan cemburu saja, itu namanya mengada-ada. Laki-laki dan perempuan itu beda karena pembagian tugas. Semua pada porsinya masing-masing, nggak bisa kalau semua dibuat sama. Lelaki dan perempuan itu tetep beda, bentuknya fisiknya saja udah beda. Apalagi pada solat Jumatnya si Minah itu, mosok lelaki dan perempuan dicampur... apa nggak kebablasan namanya. Memang sih di Masjid Haram seperti itu, tapi kan nggak bisa digeneralisir, Tanah Haram nggak bisa disamakan dengan tempat lain dong. Kalau lelaki dan perempuan itu sama.. lha mbok cuti haid dan melahirkan dihapus saja, atau sekalian toilet laki-laki dan perempuan di tempat umum juga dicampur saja, biar si Saimo sering-sering pergi ke toilet..”, ujar Kadirun dengan agak geram.
“Lho bagaimana to Kadirun iki”, kata Tomedjo, “Masalahnya ini kan ngibadah solat Jumat jangan melebar kemana-mana. Memang saya juga percaya dan yakin bahwa perempuan itu beda bentuk dengan laki, sudah kodrat perempuan bisa haid dan hamil sedangkan laki nggak bisa, itu sudah dari sononya. Tapi apakah Tuhan ketika akan memberikan ganjaran sebuah amal atau hukuman dari kemaksiatan itu mempertimbangkan jenis kelamin?”.
“Lha masalahe ngene kang Djo... “, Kadirun memotong, “Hukum bagi lelaki dan perempuan itu nyatanya juga beda. Bu Minah iku rak perempuan.. konon secara hukum nggak wajib Jumatan, jadi kalau Jumatannya itu nggak sah.. bagi dia sih nggak masalah.... Tapi bagaimana dengan makmum lelakinya yang baginya Jumatan itu wajib?
Kyai Badri yang dari tadi diam saja ikut nimbrung, “Sudahlah... nggak bakalan ada habisnya. Tapi bagi saya Gusti Allah itu nggak pernah tidur.. tahu semuanya, tahu apa yang ada di hati kalian, tahu juga yang ada di hati bu Minah itu. Niat bu Minah itu mau menyempurnakan cara beragama Islam atau justru sebaliknya... itu Gusti juga tahu. Orang berpendapat sih boleh-boleh saja, justru orang memang diwajibkan mempergunakan akalnya. Agama itu akal tetapi jangan beragama dengan cara akal-akalan. Cuma kalau saya, sejauh ini seandainya mau Jumatan ternyata imamnya perempuan... rasanya kok masih lebih mantep pergi di mesjid lain di dekat situ yang imamnya laki asli. Kalau ternyata nggak ketemu juga... lebih baik ya nggak jumatan, wong kemarin saja juga nggak sholat maghrib karena macet kekunci di jalan. Wis ah... ayo udah manjing magrib tuh ... kita sholat bareng yuuuk..”

Jumat, 11 Maret 2005

Mensyukuri Nikmat

Tidak terbilang nikmat yang telah Allah anugerahkan mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut “Jika kamu menghitung nikmat Allah SWT, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya (QS 14:34). Belum nikmat yang lain seperti kesehatan, keamanan, keselamatan, derajad, pangkat, harta benda, keluarga, tanah, air, udara, alam lingkungan. “Dia juga menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu lahir batin (QS 31:20). Maka pantas puluhan kali dalam Surat Ar-Rahman Allah menyeru: “Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Masih belum cukupkah nikmat yang kita terima agar mampu bersyukur?. “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah kepadamu, dan jika kamu mengingkari, maka sesungguhnya adzab-Ku sangatlah pedih" (QS 14: 7). Ternyata dengan mensyukuri nikmat-pun Allah SWT masih akan memberi tambahan nikmat. Betapa Maha Pemurah Allah SWT itu.
Memang, nafsu serakah selalu menghambat langkah menuju syukur. Oleh karena itu diperlukan sikap qana’ah yaitu menerima apa adanya nikmat yang telah Allah berikan dengan berprasangka baik, bahwa semua itu adalah yang paling baik dan yang paling sesuai sesuai dengan porsi kita masing-masing. Dalam Hadist Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari, Nabi Muhammad SAW berkata, "Jadilah kamu yang qana'ah, kelak kamu akan menjadi orang yang banyak bersyukur".
Lalu, apakah syukur itu? Apakah syukur itu adalah mengajak kerabat untuk makan enak atau berpesta dengan maksud untuk berbagi rasa suka dan memberi motivasi mereka dalam mengejar prestasi yang sama atau bahkan melebihi?
Bukan! Hakekat syukur sebenarnya terletak pada relasi antara “penerima nikmat” dengan “pemberi nikmat” serta pemanfaatan kenikmatan itu sendiri. Dalam pengertian itu syukur dapat dibagi menjadi tiga tingkat.
Tingkat terendah adalah syukur verbal, yakni mengucapkan “terima kasih” atas nikmat yang diterima. Dengan mengucapkan terima kasih lalu penerima lantas merasa lepas ikatan dengan pemberi nikmat dan merasa punya otonomi penuh untuk mempergunakan kenikmatan sekehendak hatinya. Inilah yang disebut syukur ritual, syukur “sopan-santun” atau “basa-basi” belaka.
Syukur yang lebih tinggi, di samping mengucapkan terima kasih juga ditambah dengan pengakuan bahwa nikmat yang diterima adalah sebuah “amanah” atau kepercayaan. Sehingga dalam pemanfaatannya keterlibatan pemberi nikmat masih diperlukan. Misalnya seseorang yang diberi nikmat tubuh yang sehat dari Allah SWT, walaupun telah mengucap Alhamdulillah namun tetap berusaha mempergunakan tubuh sehatnya untuk berbuat kebaikan atau beribadah kepada-Nya. Syukur semacam ini memang sudah baik, tetapi masih belum sempurna.
Syukur yang sempurna, di samping mengucapkan terima kasih dan merasa menerima mandat, juga dilengkapi dengan mendaya gunakan nikmat seoptimal mungkin. Misalnya mensyukuri nikmat akal budi, disamping mengucap syukur dan menjaga amanah, juga dilengkapi dengan mengasah dan mengembangkannya terus menerus dengan belajar dari segala yang tersurat maupun yang tersirat di hamparan alam ini, serta mempergunakan nikmat itu sebaik-baiknya. Cara mensyukuri nikmat sumber daya alam, disamping mengucap syukur dan mengemban amanah juga dilengkapi dengan mengeskploitasi secara optimal namun bertanggung jawab, memberinya nilai tambah agar lebih bermanfaat. Cara mensyukuri nikmat hidup disamping mengucap syukur dan menjaga amanah adalah mengisi hidup ini sebaik-baiknya sehingga tidak merugikan orang lain, bahkan sedapat mungkin memberi manfaat bagi manusia lain maupun lingkungan. Jadi syukur nikmat yang tertinggi adalah bila nikmat yang diterima itu berdaya guna bagi diri sendiri, lingkungan, maupun alam sekitar dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Memang itulah tugas manusia “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. 51:56).
Wallahu a’lam...(kangucup).