Jumat, 18 Agustus 2006

Doaku karena ada yang kumau...

Aku berdoa karena ada yang kumau. Karena ingin sesuatu, maka aku sudi menengadahkan tangan berdoa kehadiratMu. Oh Tuhanku... maafkan atas kemalasanku karena enggan berdoa manakala aku tidak merasa perlu untuk mendekat kepadaMu.
Kini.... aku sedang berdoa kepadamu. Berarti aku mengakuai eksistensiMu sebagai Tuhanku. Aku juga mengakui otoritasMu untuk menolak atau menerima doaku ini. Maafkanlah kepura-puraanku seakan merendahkan diri, sadar kekurangan atau kelemahanku dihadapanMu. Maafkan pula kelancanganku, karena terlalu banyak yang kumau, sementara tidak pernah ada sesuatu yang kuperlihatkan untuk membuktikan kecintaanku kepada Engkau.
Memang kami tahu, bahwa banyak mau adalah biang dari keserakahan. Tetapi Engkau telah meminta kami untuk banyak berdoa kepadaMu. Engkau juga tidak pernah membatasi jenis permintaan yang dapat kami diajukan kecuali jelas berkibat buruk. Karena itu, maafkan apabila kami menjadi seseorang yang banyak mau, cerewet terlalu banyak minta ini-itu. Juga maafkan kami, apabila doa kami ternoda oleh noktah keserakahan di sana sini.
Berilah kekuatan kepada kami untuk menghindar dari doa yang penuh pamrih pribadi, dimana kalau hasilnya tidak sesuai keinginan kami, justru akan menimbulkan patah semangat, patah arang, prasangka buruk, hujatan atau bahkan berpaling dariMu. Engkau memang Maha Pemurah, meskipun memiliki otoritas penuh, namun Engkau masih berjanji akan mengabulkan seluruh permohonan kami. Subhanallah.... Jauhkankanlah kami dari prasangka buruk kepadaMu, seandainya pun pernah kami lakukan maka ampunilah kami.
Berilah kekuatan kepada kami untuk berdoa dengan ikhlas, berdasar iman, tujuannya semata-mata dalam rangka menghamba kepadaMu. Tanamkanlah sikap pasrah, tawadhu’ atau rendah hati dalam kalbu kami. Bangkitkanlah motivasi azasi dalam diri kami. Jauhkanlah kami dari takabur atas pretasi yang telah kami raih, karena semua itu adalah pemberian Mu. Terhadap sesuatu yang telah kami usahakan namun ternyata hasilnya mengecewakan kami atau tidak memperoleh pengakuan atau penghargaan orang lain mohon agar itu tidak menjadikan kami putus asa karena Engkaulan sumber motivasi azasi kami.
Engkau adalah yang paling tahu kebutuhan kami, kabulkanlah doa yang akan membuat kami lebih baik. Engkau lebih tahu porsi atau ukuran kami dibanding kami sendiri, Engkau juga tahu persis apakah terpenuhinya sebuah keinginan itu berakibat baik atau justru merugikan bagi kami, Engkau juga tahu persis kapan sebuah keinginan itu layak untuk dipenuhi, apakah saat ini atau lebih baik ditunda sampai nanti. Berilah kesabaran di hati kami dalam menerima ketentuan dan kuasaMu yang tidak sesuai dengan keinginan kami…
Ya Allah jadikanlah kami menjadi menjadi orang-orang tawadhu’ atau rendah hati, bebaskan kami dari sifat sombong dan ingin menang sendiri. Jadikanlah kami menjadi orang qana’ah atau menerima apa saja pemberianmu, bebaskan kami dari keserakahan, berilah kami kemampuan membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Kuatkan iman di dada kami, cukupilah kebutuhan kami agar kami bisa mengabdi kepadaMu dengan lebih baik. Berilah kepada kami untuk bisa mengakuiMu sebagai sumber motivasi dalam bekerja atau berprestasi..

Rabu, 16 Agustus 2006

Semangat enam satu: di mana lagi dan oleh siapa lagi

Enampuluh satu tahun mau dipanggil "bapak" sudah terlalu tua, mau dipanggil "mbah" kok belum pantes, itulah umur negeriku saat ini.
Siapapun boleh membanggakan enaknya hidup di luar negeri, pendapatan besar, kerja ringan, fasilitas lengkap dan terjamin, aman, serba teratur, tertib dan sebagainya… tetapi bukankah hidup tanpa chalenge itu justru akan monoton atau kurang variasi.
Di negeri asalnya acara "Fear Factor" cukup sukses, tetapi versi sini justru kurang berhasil, barangkali karena penonton di sini sudah terbiasa menyaksikan teman dan saudaranya melakukan adegan seperti itu, setiap saat bahkan secara live, living dangerously kata orang bule, mulai di crane gedung tinggi, pembangunan tower antena, di sepanjang rel kereta api, di jalan raya, bahkan di seantero negeri ini banyak sekali orang yang tidak lagi takut celaka ataupun mati. Di sini untuk nonton balapan f1, a1, moto_gp tidak perlu jauh-jauh, karena sirkuit balap ada di mana-mana yakni di sepanjang jalan raya. Bila beruntung, tanpa perlu ke Disneyland kita juga bisa menyaksikan adegan live seperti yang tersaji dalam filem action Holywood seperti kebut-kebutan, berantem, tawuran, bakar-bakaran, bahkan juga pengeboman.
Fenomena alam di sini tak kalah menariknya, kalau di California ada gempa bumi di sini juga hal yang biasa, kalau di Jepang ada letusan gunung dan tsunami di sini juga ada, di China ada banjir bandang di sini juga sama. Bahkan ada fenomena yang jarang dijumpai di tempat lain seperti ekspor asap ke negara tetangga, banjir "petis terasi" yang bakalan bisa menenggelamkan sebuah kota, dan sederet contoh lainnya.
Siapa bilang hidup di sini tidak enak, dimana lagi di dunia ini kita lagi bisa menghentikan bis umum persis di depan gapura rumah sendiri. Dimana lagi kita kita tidak perlu antri, di mana lagi semua hal bisa datur, di mana lagi semua hal bisa dipercepat dan dimana lagi semua hal bisa dipermudah, asal tahu caranya dan punya sarananya. Di mana lagi bisa bebas melakukan pelanggaran lalu lintas dengan modal lima dolar di saku. Di mana lagi kita bebas melakukan apapun sesuai kemauan kita… Ya dimana lagi… dimana lagi… dimana lagi… dimana lagi yach, aku tidak bisa menghindar darimu.. dimana lagi tempatku untuk menjauh darimu… bagaimanapun engkau adalah negeriku, tanah tumpah darahku, tanah yang membesarkanku, engkau juga tumpuan harapan masa depanku.. dan siapa lagi yang akan menjadikan negeri ini menjadi lebih baik kalau bukan kita juga akhirnya....
Selamat ulang tahun negeriku…. Merdeka!

Jumat, 04 Agustus 2006

Setelah bencana, kita mau apa?

Bila suatu musibah berlalu, bukan berarti tidak akan ada lagi musibah yang akan datang menghampiri. Tengoklah kisah Nur (27 tahun) wanita asal Madura yang sangat mengharukan. Ketika gempa melanda Bantul (27/3) ia dan keluarganya berada di sana bahkan anak tertuanya Dede (12 tahun) menjadi salah satu di antara 6.500 korban yang meninggal. Kemudian ia sekeluarga memutuskan pindah ke kampung asal suaminya di Cikalong Tasikmalaya, dengan harapan bisa segera menghilangkan trauma yang pernah dialaminya. Memang ia sejenak bisa memperoleh ketenangan di Cikalong, tetapi siapa sangka pada tanggal 17/7 sore kampung asal suaminya itu-pun habis tersapu tsunami. Alhamdulillah Nur selamat dari musibah kedua yang dialaminya tersebut walaupun harus menderita luka-luka yang cukup parah. Aapun kini pasrah, tidak ada keinginan untuk pulang ke kampungnya di Madura, karena ia percaya kalau Allah menghendaki di mana saja bencana akan bisa menimpa sesorang.
Sungguh sebuah kisah yang sangat mengharukan dan mungkin hanya beberapa orang saja diabtara milyaran manusia di dunia ini yang pernah mengalami kisah serupa. Menjadi saksi hidup sebuah bencana saja berarti memperoleh pengalaman yang sangat berharga, apalagi ia sampai mengalami dua bencana hanya dalam selang waktu kurang dari empat bulan.
Sebuah bencana tidak pernah bisa dinilai dengan uang. Bayangkan untuk tsunami Aceh, gempa Jogja dan tsunami Pangandaran saja, harus ada ratusan ribu nyawa melayang, puluhan bahkan ratusan ribu bangunan luluh lantak, entah berapa nilai harta benda yang musnah, belum lagi biaya sosial karena kehilangan anggota keluarga, teman, kerabat, kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan, maupun biaya materi maupun non materi untuk membangun kembali masyarakat yang trauma paska bencana....
Oleh karena itu.. sungguh teramat sayang apabila bencana yang tidak ternilai tersebut tidak berpengaruh apapun atau sedikitpun tidak membuat hati kita tergerak, baik sebagai korban yang selamat, sebagai orang yang punya kaitan dengan sebagian korban, maupun sebagai orang yang tidak terkena bencana maupun tidak ada sangkut paut dari korban tetapi mengetahui bencana itu baik secara langsung ataupun hanya dari berita media massa.
Mungkin kita akan mendapat murka, kalau pengalaman tak ternilai berupa tragedi besar yang Allah tunjukkan di depan mata kita itu tidak berbekas dalam hidup dan segera terhapus dari memory kita tanpa sedikitpun mengubah pandangan, sikap maupun perilaku kita. Oleh karena itu kita perlu mencari pelajaran apa yang bisa diperoleh dari bancana yang pernah terjadi di sekitar kita. Inilah barangkali sedikit diantara pelajaran itu:
Pertama, bencana menyadarkan bahwa kita ini berada di wilayah yang rawan bencana, secara ilmiah mustahil tidak ada lagi bencana di negeri ini. Maka mata harus terbuka untuk lebih waspada dan selalu siap sedia kalau sewaktu-waktu terjadi bencana. Pihak berwenang hendaknya juga menyiapkan peralatan, fasilitas, infrastruktur, organisasi, managemen dalam peringatan dini, tanggap darurat, evakuasi sampai recovery kalau terjadi bencana dan kita semua juga rela ikut berpartisipasi dan memeliharanya.
Kedua, bencana menjadi titik tolak untuk berbenah diri. Berdasarkan sebab terjadinya, ada bencana (sebagian besar) akibat perbuatan tangan manusia manusia dan ada pula bencana (yang hampir) bebas dari campur tangan campur tangan manusia (lihat QS Ar-Ruum 41). Untuk bencana yang diakibatkan oleh "kesalahan" manusia (banjir, longsor, kebakaran hutan, dll), harus ada komitmen dan upaya menghentikan eksploitasi membabi buta terhadap alam dan perbaikan alam yang telah rusak, sehingga bencana semacam itu bisa dicegah. Adapun terhadap bencana yang di luar kuasa tangan manusia (gempa, tsunami, gunung meletus, dll), walaupun manusia tidak punya kekuatan untuk mencegah, tetapi tetap harus berupaya untuk melakukan mitigasi, antara lain mengatur lingkungan, penetapan struktur, konstruksi dan bahan bangunan didaerah rawan bencana, dll sehingga kalau terjadi bencana, kerusakan dan korban bisa ditekan.
Ketiga, seberat apapun bencana yang menimpa, sebagai hamba Allah manusia harus tetap sabar (baca Al Ankabut 1-3). Tidak boleh berprasangka buruk terhadap Allah SWT dan selalu yakin bahwa Allah tidak pernah membebankan sesuatu yang di luar kekuatan manusia. Bahkan menurut sabda Nabi bahwa yang sabar menerima musibah akan memperoleh buah antara lain ampunan dosa-dosanya (HR Al Imam Tirmidzi).
Keempat, musibah bisa dijadikan momentum untuk meningkatkan kesadaran akan kelemahan kita sebagai makhluk dan mengakui kebesaran Allah SWT sebagai Tuhan seru sekalian alam, dan (atas kehendakNya) bencana bisa saja sewaktu-watu merenggut kita. Oleh karena itu bencana hendaknya dijadikan motivasi untuk menguatkan iman, meningkatkan takwa, mengintensifkan ibadah menjalankan perintah maupun menjauhi yang dilarang dan menambah kekhusukan dalam bermunajat mohon perlindungan agar diselamatkan dari segala macam bencana (Meskipun Indonesia bebas gempa itu 99% mustahil, kalau pelepasan energi melalui gempa dicicil kecil-kecil juga akan lebih aman dibandingkan bisa pelepasan sekaligus berupa gempa besar satu atau dua kali saja).
Kelima, bencana adalah wahana bagi kita --yang tidak ikut menjadi korban-- untuk menolong sesama, membantu mereka yang selamat dari bencana tapi menderita, menghibur mereka yang trauma, menyantuni keluarga korban yang kehilangan masa depannya. Ketika ada bencana sedangkan kita lapang bersegeralah untuk berbagi, karena kita tidak pernah tahu (dan juga tidak pernah berharap) kapan ada bencana lagi, seandainya-pun akan ada bencana lagi, kita juga tidak tahu apakah ketika itu kita masih bisa berbuat sesuatu...
Amien..Wallahu a'lam..