Minggu, 19 November 2006

antara ketertindasan dan kekerasan

Bang Rawi, tinggal di rumah petak, di ujung gang sempit yang padat, dekat pemakaman umum, bahkan dinding rumah beliau berebut lahan dengan deretan nisan. Beliau tidak punya pekerjaan formal kecuali hanya sebagai “pria panggilan”. Jangan mikir macam-macam… maksudnya sering dipanggil apabila ada yang akan mengganti genteng atau menambal keramik, memperbaiki talang bocor, melapis ulang cat tembok, membobol got mampet, mengganti kran bocor, dan pekerjaan yang berkaitan dengan perawatan rumah lainnya.
Bang Rawi adalah orang Betawi, tetapi menurut saya --yang paham betul kehidupannya--, bukan karena ke-Betawi-annya lalu bang Rawi hanya pantas berprofesi tidak jelas seperti itu, bukan karena etnisnya pula ia tidak bisa tinggal di pemukiman mewah. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa antara beliau orang Betawi dengan profesi dan tempat tinggal beliau yang kurang bergengsi itu tidak ada hubungannya sama sekali.
Kalau bang Rawi dianggap representasi komunitas Betawi, nyatanya enggak semua orang Betawi tertindas dan terpinggirkan. Bukankah kita juga tahu kalau Pak Rohali Direktur PGN itu orang Betawi, anaknya Yuanita adalah Direktur Keuangan PT Bakrie & Brothers Tbk, anak yang lain yakni Alya adalah artis dan presenter papan atas yang sering tampil di acara televisi? Bahkan Mandra, Omas,. Bolot, Malih, dll walapun sering jadi bahan olok-olok, dalam kehidupan keseharian tidaklah sejelek perannya di panggung. Secara kebetulan saya juga mengenal pak Kholil Hasan, MBA Direktur Keuangan PT Semen Gresik dan juga Pak Yuslam Fauzi MBA Direktur Utama Bank Syariah Mandiri, beliau juga orang Betawi, sulit untuk mengatakan bahwa beliau-beliau termasuk orang tertindas dan terpinggirkan.
Kalau tolok ukur tertindas dan terpinggirkan adalah karena tidak pernah ada orang Betawi yang jadi Gubernur DKI, apakah berarti para Gubernur DKI Jakarta itu kaum penindas? Apakah Suryadi Sudirja dan Ali Sadikin yang orang Sunda itu penindas? Apakah Wiyogo Atmodarminto, Tjokropanolo, Suprapto dan Sutiyoso yang wong Jawa itu juga penindas?. Kalau begitu kenapa juga putra Betawi balok DKI 1 kok juga pakai nama Jawa (Fauzi Bowo) he,he,he....
Sebenernya dominasi Jawa di DKI juga masih wajar mengingat menurut statistik jumlah orang dengan etnis Betawi juga kalah dengan etnis Jawa yang menduduki peringkat teratas di DKI.
Mungkin masih ada pertanyaan lanjutannya, kenapa etnis asli di Jakarta malah hanya posisi kedua? Bukankah ini membenarkan pernyataan bahwa mereka tertindas dan terpinggirkan, nyatanya keberadaan mereka kini lebih banyak di pinggiran ketimbang di daerah pusat kota? Memang itu adalah fakta, tetapi eksistensi orang Betawi sendiri secara anthopologis juga belum jelas benar. Sejarah Jawa atau Sunda itu sudah ada sejak jaman Mataram Kuno, Singasari, Majapahit atau Pajajaran, sementara sejarah Betawi relatif baru. Konon di jaman kolonial etnis Betawi itu baru dikenal sekitar abad ke 18-19, sehingga ada dugaan Betawi itu campuran dari berbagai etnis yang mendiami Jakarta jaman kolonial, karena dalam kebudayaannya tercampur warna cina, warna arab, warna eropa juga ada sedikit Jawa, Sunda dan budaya nusantara lain.
Kalaupun memang benar bahwa etnis betawi itu tertindas dan terpinggirkan, siapakah sebenarnya yang menindas dan siapa pula yang meminggirkan orang Betawi? Kalau yang meminggirkan adalah pendatang? Bukankah sebagian besar pendatang entah dari Jawa, Sunda atau daerah lain adalah juga orang yang terpaksa harus mencari keberuntungan dan tidak cukup punya kekuatan maupun nyali untuk menindas atau meminggirkan orang lain. Lha kalau begitu siapa sih yang menindas dan meminggirkan orang Betawi? Itu sebuah pertanyaan yang terus menghantuiku hingga saat ini…
Premanisme jelas ditolak oleh siapapun juga, lalu bagaimana caranya membela masyarakat terpinggirkan dan tertindas itu? Apakah seperti kita membela Palestina yakni membantu perjuangannya melawan aggressor Israel? Selaginya membantu Palestina yang penindasnya sangat jelas saja sulit dilakukan, apalagi membela pihak yang nggak penindasnya nggak jelas. Kalau begitu, bagaimana caranya membela orang Betawi yang tertindas dan terpinggirkan itu?
Siapapun termasuk orang Betawi pasti ingin mengubah nasib. Bang Rawi yang dulu hanya “pria panggilan”, telah belajar mengaji, untuk mobilitasnya kini tidak lagi tergantung kepada sebuah sepeda tua, tetapi kini lebih sering tergantung Yamaha bebek yang dicicilnya. bahkan kini beliau telah berani menjadi imam di langgar dekat rumahnya, sesekali menjadi khatib dan kini bang Rawi adalah guru ngaji bagi anak saya. Itulah bang Rawi yang telah mampu membela dirinya sendiri dengan memberdayakan potensi yang dimilikinya…

Kamis, 16 November 2006

nomor dua! apakah pecundang?

manusia tercipta untuk siap bersaing, sebab mulai dari proses awal terjadinya saja sudah melalui persiangan sengit antara hidup dan mati. pada peristiwa pembuahan, ribuan sel sperma yang dipancarkan bapak harus saling berlomba mendekati ovum di rahim ibu, dari ribuan sel yang berjuang tersebut hanya ada satu yang akan mampu bersatu dengan sel telur dan membentuk zygote dan akhirnya berkembang menjadi janin dan terlahir sebagai manusia. sedangkan yang lainnya tidak ada artinya apa-apa. dalam permainan olahraga atau persaingan lainnya, sering yang dianggap berguna adalah yang nomor satu, sementara yang lain adalah pecundang yang tidak pernah diperhitungkan.
sungguh malang nasib pecundang, siap untuk dihujat, rela dicaci maki. berapapun usaha dan apapun pengorbanan yang telah dikeluarkan dalam mengikuti persaingan tidak pernah mendapat pengakuan atau penghargaan.
namun, dalam sejarah perjuangan bangsa mencatat beberapa tokoh yang sebenarnya mengalami nasib kurang baik dalam akhir perjalanan perjuangannya, misalnya harus mati terbunuh secara heroik dalam suatu pertempuran, atau bahkan terpedaya, ditangkap dan akhirnya diasingkan ke suatu pulau yang terpencil. meskipun demikian perjuangan mereka itu tidaklah sia-sia, kita semua masih menghargainya dan kita masih memberi gelar mereka pahlawan walaupun tidak memperoleh apa yag dicita-citakan. seperti konsep mati syahid dalam ajaran agama, dimana para syuhada itu tidak selalu mereka yang bisa memenangkan pertempuran dengan gemilang, bisa saja mereka adalah yang mati ditengah-tengah perjuangan. jadi ternyata effort juga bisa mendapat penghargaan meskipun gagal untuk mendapatkan afford. jadi penghargaan sebagai pahlawan bukan hanya karena telah berhasil dengan gemilang mengusir musuh namun termasuk mereka yang telah berusaha keras berjuang meskipun tidak menuai keberhasilan.
kemenangan adalah motivasi dari suatu perjuangan. tanpa keyakinan akan bisa menang tidak mungkin perjuangan dilakukan. namun kemenangan bukan suatu keharusan. hidup ini tidak akan menjadi sia-sia apabila gagaluntuk menggapai seluruh cita-cita. jadi jangan takut untuk punya cita-cita dan yang lebih penting jangan takut untuk memperjuangkannya meskipun belum tentu akan tercapai.
Gambar:
Bakso Kadipolo di depan RS PKU Muhammadiyah Solo, menyatakan dirinya nomor 2 sedunia. Ia rela menjadi nomer dua, karena di posisi ini iapun bisa eksis.