Selasa, 20 November 2007

Lebaran beda harinya, tapi sama tanggalnya

Ustad Mukidin mengatakan, mau lebaran Jumat (12/11/2007) boleh asal nggak cuma ikut-ikutan tanpa dasar apalagi dasarnya cuma waton suloyo dengan Pemerintah saja… lebaran Sabtu (13/11/2007) juga nggak salah asal ngerti dan tidak cuma manut grubyug saja… Gusti Alloh memberi kebabasan kepada manusia untuk milih sesuai dengan keyakinannya…
Itulah kelebihan orang Islam, untuk menentukan waktu sholat Maghrib atau Imsyak saja butuh ilmu pengetahuan. Bahkan untuk penentuan awal atau akhir puasa ini di samping perlu ngerti ilmunya juga perlu ada sidang ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu (astronomy, penerbangan, matematika, komputer dan ilmu fikih) dengan dibantu alat-alat dari yang paling sederhana sampai canggih (teropong, alat-alat ukur optik/ digital, perangkat komputer).
Bayan Semun mengajukan pertanyaan usil “Sudah sedemikian canggih cara untuk ngukurnya kok masih terjadi perbedaan?” "Kalo nurut Gusti Alloh sebenarnya lebarannya kapan sih pak Ustad?"
“Sing jelas lebaran ya tanggal 1 Syawal…. Apapun harinya’ jawab Ustad Mukidin tegas.
“Cuma lebaran nurut Gusti Alloh itu kapan, ya sepurane ae.. masiyo jelek-jelek sehari semalam lima kali dialog dengan Gusti Alloh lewat sholat... tapi saya nggak berani “njampangi” kehendak Gusti Alloh”, kata Ustad Mukidin sambil melepas kopiahnya dan garuk-garuk kepalanya yang nggak gatal.
Manusia sebelum dilepas di dunia ini udah dibekeli ilmu dan akal. Monggo dibuka dan dipake bekal itu. Nah dengan bekal akal itu manusia bisa punya ilmu atau mengembangkan teori.
Kembali ke sejarah…. ketika peradaban Islam memasuki masa gemilang di Eropa dulu. Ilmu apa yang pertama kali dikembangkan? Penelitian membuktikan yang pertama adalah astronomy atau ilmu falak. Kenapa? Lha iyalah… karena ilmu itu langsung berkaitan dengan kegiatan ibadah orang Islam. Umat Islam kalo mau sholat harus ngerti ilmu tentang peredaran matahari, sedangkan kalo mau ibadah puasa harus paham ilmu peredaran bulan.
Sehingga abad emas itu melahirkan ilmuwan besar seperti Al-Farghani yang menghasilkan karya monumental Kitab fil Al Harakat al-Samawiya wal Jarwani Ilm Al-Nujum yang kemudian dialih bahasakan menjadi The Elements of Astronomy. Asaking terkenalnya di dunia astronomi sampai namanya diabadikan sebagai nama sebuah kawah di bulan (afraganus crater).
Di pesantren tradisional rasanya tidak pernah diajarkan ilmu untuk jadi teroris tetapi pasti diajarkan ilmu falak. Para santri atau kaum sarungan itu umumnya piawai menggunakan teropong theodolit tradisional yang terbuat dari kayu yang dinamakan rubu'al mujayyab. Dari kalangan pesantren kuno Indonesia juga lahir ilmuwan falak yang cukup disegani bahkan di dunia internasional seperti almarhum Kyai Abdul Djalil dari Pati (beliau pernah jadi Ketua Lajnah Falakiyah NU/DEPAG). Kitab karangan beliau Fath al-Rauf al-Manan walaupun sangat basic tetapi jadi buku pegangan wajib bagi santri yang ingin mempelajari ilmu falak sampai saat ini.

Dengan perkembangan mutakhir dimana teropong sudah sangat maju, perhitungan-perhitungan dilakukan dengan bantuan komputer, sehingga akurasi hasil pengukuran sudah tinggi. Bahkan orang saat ini sudah bisa meramalkan besuk tahun 2013 nanti Idul Fitri akan jatuh pada tanggal 17 Agustus, jadi nanti pagi hari kita sholat ied, siang sedikit upacara, habis itu balapan karung atau panjat pinang sambil salam-salaman. Terjadinya gerhana bisa diramal sampai ke detil menit dan detik.

Maka aneh di jaman semaju ini untuk obyek yang jelas terlihat, menghasilkan teori yang saling bertentangan satu sama lain. Seorang Tionghoa menyatakan keheranannya, kenapa ummat Islam berselisih menetapkan tanggal 1, padahal di tradisi mereka bisa memperhitungkan suatu saat di mana gravitasi sedemikian rupa sehingga sebutir telur bisa bediri tegak.

Ternyata masalahnya bukan di situ, secara kuantitif hasil pengukuran ulama ahli hisab maupun ulama ahli rukyat sebenarnya memang tidak ada perbedaan, kalaupun ada itu hanya minor saja.
Lalu masalahnya di mana? Pangkal soalnya perbedaan penetapan tanggal satu Syawal itu bukan pada hasil perhitungannya tetapi lebih kepada perbedaan interprestasi karena perbedaan kriteria yang dipakai.

Ada beberapa mainstream aliran interprestasi, diantaranya adalah aliran "wujudul hilal" dan aliran "rukyatul hilal".

Wujudul Hilal, pedomannya "Jika setelah terjadi ijtimak (bulan bertemu matahari di suatu garis), bulan terbenam setelah terbenamnya matahari maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam". Jadi yang penting posisi bulan sudah diatas ufuk, nggak peduli hilal terlihat atau enggak (catatan: hilal itu bukan bulan keseluruhan tetapi bagian bulan yang terkena sinar matahari yang terlihat dari bumi).

Acuan aliran Rukyatul Hilal adalah "masuk awal bulan apabila hilal sudah terlihat (supaya hilal dapat terlihat tinggi bulan minimal harus di atas 4 derajad atau ebih tinggi lagi tergantung jarak antara bulan dan bumi).

Itulah pangkal masalahnya, perbedaan bukan pada akurasi hasil perhitungan tetapi pada masalah fikih yaitu kriteria yang dipakai untuk membuat interprestasi dari hasil pengukuran itu. Perbedaan terjadi karena yang satu menganggap akan lebaran bila bulan sudah diatas ufuk (berarapun asal sudah >0), yang satunya mengatakan baru berlebaran kalau hilal sudah terlihat (padahal supaya terlihat sudut minimal harus >4 derajat, saat posisi bulan di atas 0 derajad apabila masih di bawah 4 derajat, kecil kemungkinannya bis aterlihat). Nah, pada waktu matahari tenggelam ketinggian bulan di bawah 4 derajat inilah yang selalu memicu kontroversi dalam penentuan awal bulan. Perbedaan akan terjadi terus selama belum ada kesepakatan tentang kriteria yang dijadikan acuan. Rembulan di atas ufuk-kah atau hilal terlihatkah?
Di samping yang menggunakan acuan penampakan bulan, juga ada juga yang menggunakan perhitungan kalender seperti ABOGE atau "1 Suro tahun Alip jatuh pada hari Rebo Wage" (yang sejak 19 Oktober 1982 berubah menjadi ASAPON atau "1 Suro tahun Alip jatuh pada hari Selasa Pon) . Perhitungan ini juga menghasilkan hari 1 Syawal yang lain lagi. Untuk yang terakhir ini memang tidak diterima oleh ulama fikih, sehingga hanya dipergunakan secara terbatas.

Untuk kita yang awam bagaimana?

Idealnya sih ada kesepakatan para ulama mengenai kriteria tersebut (pilih salah satu: yang di atas ufuk atau rembulan/hilal terlihat atau kriteria lain). Emang supaya sama, tidak ada pilihan lain harus pilih salah satu, sehingga mau nggak mau harus ada yang ngalah. Itulah kenapa penyatuan saat berlebaran itu suatu hil yang mustahal terjadi di negara kita ini.

Ada juga pendapat, sebaknya mengikuti lembaga yang paling punya otoritas untuk menetapkan, yaitu Pemerintah, tetapi ini juga ada tentangan kenapa untuk urusan beginian pemerintah harus turut campur. Emang di negara lain dimana umat Islam minoritas, keputusan Pemerintah mengenai awal puasa dan lebaran selalu dipatuhi (mungkin karena sebagian besar rakyat tidak terpengaruh langsung), Indonesia yang muslimnya mayoritas keputusan pemerintah mendapat tentangan. Padahal kesamaan hari raya itu sebenarnya sangat diperlukan untuk mengatur aktivitas pelayanan publik. Perbedaan waktu sholat tidak banyak berpengaruh terhadap kegiatan publik, tetapi perbedaan hari raya/lebaran besar pengaruhnya terhadap pelayanan publik, karena di waktu libur kliring perbankan, transaksi internasional, aktivitas pasar modal, jam kantor, sampai angkutan umum di hari seputar lebaran harus diatur ulang.
Tetapi semua terpulang hati masing-masing, karena fatwa ulama sekalipun, sebenarnya hanya mengikat orang yang meyakini, kita tidak wajib mengikuti kalo nggak yakin dan melanggarnya juga tidak bisa dikenakan sangsi. Lain halnya fatwa lain halnya QANUN seperti di Nangroe Atjeh

Silahkan bagi yang ingin mendalami masalah ini, link-link yang dapat dilayari:
http://www.as.itb.ac.id/~ferry/Articles/HilalVisibility/HilalVisibility.html
http://media.isnet.org/isnet/Djamal/almanak.html
http://rukyatulhilal.org/