Jumat, 21 Desember 2007

Kurban, bukan cuma nyembelih kambing

Ibadah itu nggak cuma upacara ritual, seperti gerak badan senam pagi, semacam taiso di jaman jepang dulu, upacara bendera di sekolah tiap senin pagi, atau PNS tiap tanggal 17 di jaman Orde Baru... tetapi lebih dari itu, ibadah harus punya jiwa atau ruh atau punya dimensi moral spiritual dan mengandung aspek edukatif untuk membangun perilaku konstruktif... weleh kok pidato pejabat banget gitu looh...
Iya sih... intinya ibadah itu memang nggak boleh ecek-ecek, harus dibarengi kesungguhan hati dan harus "membekas" dalam kehidupan sehari-hari. Capek-capek sholat kalau cuma asal-asalan atau sahun apalagi yuraun justru membuat pelakunya celaka. Berlapar-lapar puasa kalau tidak sungguh-sungguh cuma dapet perut kerocongan dan tenggorokan rock-rockan. Tentu maksudnya bukan lantas kalau belum bisa khusuk nggak usah sholat, kalo belum paham bener ilmunya jangan puasa dulu.. ya nggak gitu lah. Maksudnya mencoba tapi belum sempurna memang celaka, tapi takut mencoba dengan dalih belum bisa sempurna justru dapat celaka lebih banyak, pertama melawan perintah celaka dikutuk, kedua malas atau nggak mau berusaha celaka dibenci, ketiga celaka kehilangan kesempatan dapat tiket ke sorga...
Nah sekarang ke soal ibadah yang lagi dilakukan sekarang ini yakni korban. Ritual korban itu motong kambing, nyembelih dapi sapi atau menjagal onta.. tapi korban bukan cuma berhenti disitu saja... Ritual ibadah termasuk kurban ya harus punya ruh dan menyentuh moral spiritual, dan ada dampaknya terhadap perbaikan perilaku konstruktif.
Tujuan korban bukanlah untuk memberi upeti atau kasarnya "nyogok" terhadap yang memiliki kekuatan yang mempengaruhi kehidupan manusia, biar nggak celaka atau biar selamat dari marabahaya. Outcome terpenting dari ibadah korban bukanlah apa atau kepada siapa daging itu dipersembahkan, tetapi justru terletak pada pengaruh ritual itu terhadap diri si kurban.
Ibadah korban merupakan salah satu wujud apresiasi atas sikap pasrah dan patuh yang luar biasa dari Kanjeng Nabi Ibrahim kepada Gusti Alloh sehingga beliau ikhlas melakukan apapun untukNya termasuk mengorbankan putera sendiri yang tersayang. Tentu nggak imbang kalau mencoba membandingkan Kanjeng Nabi Ibrahim 'alaihi salam Bapak Para Nabi dan Rasul, dengan kita yang ilmu dan amalan agamanya sangat terbatas. Tidak imbang pula menyandingkan seorang remaja putra Nabi satu-satunya, pemuda soleh yang dibamba puluhan tahun dan dibesarkan dalam hidup penuh perjuangan dengan... maaf.... seekor kambing (Maka kalau kambing saja keberatan itu sungguh ... t-e-r-l-a-l-u..). Karena ikatan emosional antara kanjeng Nabi Ibrahim dengan putranya itu jelas jauh sekali bedanya dengan ikatan emosional kita dengan kambing korban yang baru kita beli menjelang penyembelihan bahkan kita beli lewat "cyber" dimana kita tidak pernah lihat wajahnya kecuali lewat file jpeg doang.
Meskipun demikian perbandingan itu hendaknya tidak mengurangi kekhidmatan dalam menjalankan kurban, semangat dan suasana hati kita perlu di"tuning" maksimal sampai "matching" dengan suasana Nabi Ibrahim ketika akan mengeksekusi "ujian" yang maha berat itu. Pengorbanan yang sebenarnya kan bukan hanya terletak pada kambingnya, dombanya, sapinya atau ontanya, tetapi beyond that... yakni keikhlasan hati untuk mengorbankan sifat kebinatangan yakni mengorbankan ego, mengendalikan hawa nafsu, meminggirkan kepentingan atau kesenangan sendiri...
Daging korban sangat dibutuhkan oleh mereka yang kurang protein hewani, bermanfaat untuk membantu orang kekurangan, adanya korban juga dapat membantu petani peternak. Namun kerelaan untuk mengorbankan egoisme, mengendalikan hawa nafsu, melepaskan sebagian kesenangan sendiri yang merupakan dampak dari spirit korban, meskipun nggak bisa dibikin BBQ, tentu jauh lebih bermanfaat bagi lingkungan, masyarakat, bangsa bahkan umat manusia....

Selamat Idul Adha 1428 H
Selamat berkurban bagi yang punya kelebihan rejeki