Minggu, 12 September 2004

Ketika teror menyaru dengan horor....

Dari sisi manapun, rasanya tidak pernah bisa terpikirkan ada keuntungan yang bisa dipetik dari tragedi bom di depan Kedubes Australia Jakarta lalu maupun tempat lain di tanah air. Pernyataan ini memperoleh pembenaran ketika sampai saat ini belum pernah terdengar ada pihak yang secara terbuka mengumumkan bahwa dia merasa berbahagia dengan adanya tragedi bom-bom itu.
Ya.. memang bom meledak pasti ber-effek merugikan atau merusak. Tetapi tidak bisa dibantah, bom-bom itu memang sengaja dibuat dan diledakkan. Jadi ada pihak yang memeng menghendaki adanya kerusakan atau kerugian. Apakah pelaku berjiwa vandalism, sekedar gagah-gagahan supaya memperoleh pengakuan tentang keberanian dan kenekatan yang dilakukan, atau mengharap penghargaan tak bernilai atau publikasi atas prestasi yang tidak mudah ditiru oleh orang yang tidak punya nyali....
Bom bisa dianalogikan... maaf... dengan kentut. Memang, kentut tidak pernah dilaporkan bisa menyebabkan kematian, namun kentut juga dilakukan sembunyi-sembunyi dan bisa menimbulkan kepuasan atau kelegaan bagi yang meledakkan. Ketika isi perut penuh, maka udara kotor mendesak katup dan pada ambang tertentu meledaklah kentut yang menimbulkan kelegaan. Setelah itu muncul perdebatan dan saling tuduh..
Apakah bom di negeri ini adalah merupakan ledakan "kentut" dari kesesakan yang menghimpit para pelaku? Lalu apakah alasan itu bisa dijadikan alasan pembenaran terhadap tindakannya?
Apapun alasannya, semua menghujat kecuali yang menjadi pelakunya, ledakan bom sudah kerap kali terjadi di negeri ini, bahkan sudah layaknya seperti even mengerikan yang terencana secara berkala. Jadi ancaman bom di negeri ini sudah bukan lagi sekedar teror yang mengharuskan berpikir dua kali bagi yang akan mengusik keberadaan teroris, kini ancaman itu bisa menimpa siapa saja termasuk yang di luar wilayah atau tidak ada sangkut paut dengan kepentingan-kepentingan yang sedang bertikai. Jadi ancaman bom bukan lagi sekedar teror tetapi sudah menjadi horor yang menghantui sepanjang waktu..

Senin, 06 September 2004

Kring-kring-kring ada sepeda


Sepeda kendaraan segala strata segala usia dan segala kegiatan. Alat permainan si kecil yang baru bisa naik roda tiga, alat transportasi orang desa mengais rejeki di kota, alat olahraga bagi yang muda atau merasa muda, alat untuk nostalgia dan berbagi rasa bagi yang memiliki kegemaran yang sama. Pak guru tua terengah berpelu mengayuh sepeda menuju tempat untuk mengajar dan mendidik para muridnya, bapak-bapak tua di utara Jakarta mengais rejeki dengan ojek sepeda, sementara yang berduit naik sepeda titanium berharga puluhan juta. Simplex, , Fongers, Gazelle, Raleigh (sampai sekarang) adalah contok merek andalan tempo doeloe. Generasi berganti muncul Federal disusul Wim Cycle, BMX, Polygon, Raleigh, Cannondale, GT, Scott dan beberapa merek beken lainnya. Aksesorisnya bervariasi, ada rim karet, teromol, cakram sampai sandal jepit (kalau berhenti sandalnya diseret ke tanah atau ke ban). Yang ngetop bikinan Shimano Jepang. Ada yang gir tetap sampai multi gear yang berbunyi clik, clik, clik..... dengan bel ting-tong.....ting-tong...
Ternyata sepeda juga punya andil dalam bias gender, karena sepeda ada yang berjenis laki-laki, perempuan dan ada pula yang jengki. Lelaki naik sepeda lelaki sudah sewajarnya, lelaki naik sepeda perempuan masih pantes, tetapi perempuan (pakai kebaya atau rok mini) naik sepeda lelaki jadi bahan bisik-bisik tetangga yang suka gosip. Banci jadi bahan olok-olok di masyarakat, tetapi sepeda jengki justru lebih banyak diterima di kalangan orang muda. Lebih praktis, ringan, enak dipakai dan cocok untuk segala medan.
Pada jamannya sepeda pernah menjadi kendaraan para bangsawan dan eksekutif. Foto penunggang sepeda bukan saja yang memakai celana seadanya dan atau baju kumal bertambal, bukan pula yang ber-kostum ketat meriah dari bahan satin, tetapi juga mereka yang berjas dan berdasi. Ratu Juliana dan putri Marijke pernah bercengkerama di atas sepeda (1953). Di tahun 1990-an, walaupun sekedar seremonial pertama dan terakhir, RI 1 bersepeda tandem dengan ibu negara menyusur jalan kota satu kilometer dalam pengawalan ketat para ajudan.
Di masa lalu sepeda juga simbul kepatuhan anak pada orang tua. Kerelaan sang kakak berpanas berpeluh mengayuh sepeda puluhan kilometer tiap hari dari desa ke kota menuntut ilmu merupakan salah satu wujud kepatuhan dan semangat pantang menyerah. Duka sang kakak dengan celana ditisik di pantat karena jebol kena sadel merupakan contoh baik bagi para adik. Padahal adik bersekolah ke kota dalam jaman yang sudah berbeda.
Ketika jalanan kota padat macet penuh polusi dari gas emisi, sepeda sebenarnya bisa menjadi salah satu solusi. Tetapi tidak pernah menjadi wacana untuk ke sana, karena pekerja di kota ini adalah komuter, yang tiap hari menempuh jarak puluhan kilometer yang mustahil ditempuh hanya dengan kaki mengayuh tanpa bantuan mesin yang minum bensin.
Akhirnya fungsi sepeda bukan menjadi sarana transportasi tapi kembali menjadi gaya hidup yakni sekedar untuk berolahraga di jalanan kota, di desa-desa atau menuruni lembah pegunungan, atau sarana kongkow-kongkow orang sehobi, bernostalgia atau menunjukkan nilai koleksi buah dari ketekunan yang membanggakan. Lain halnya bagi yang kurang beruntung, ia masih merupakan transportasi yang murah dan alat untuk mengais rejeki di tengah ganasnya kehidupan.. sambil berteriak nyaring... siomay... bakso... sol sepatu... kursi jog...
Geos, genjot, onthel terus....kring...kring..kring...