Kamis, 08 September 2005

polonia oh mandala...

ini medan bung… apa istimewanya medan? untuk mengetahui apakah seorang yang sedang di mobil antar-kota sudah tiba di medan atau bukan, tidak perlu tanya kepada orang lain... cukup membuka jendela.. lalu menjulurkan tangan, kalau tiba-tiba arloji yang dipakai hilang disambar orang itulah medan... ini tentu hanya seloroh, karena nyatanya kota medan tidak seseram gambaran itu, medan sejatinya cukup ramah...
medan adalah ibukota SUMUT, artinya bisa Sumatera Utara tetapi bisa juga diplesetin menjadi "Semua Urusan Mesti Uang Tunai".. jadi kalau pegang uang, apapun dengan mudah anda lakukan di kota medan. tengok di polonia, betapa berkuasanya orang-orang sipil dengan handy talky di tangan.. konon mereka itu dengan mudah mampu menunda keberangkatan pesawat, bahkan membatalkannya.. semua itu bisa dilakukan karena untuk memperoleh uang...
sekurangnya pernah terjadi dua kali malapetaka pesawat dengan korban besar di sekitar bandara ini (sibolangit 1997 dan di padang bulan 2005) bandara ini mencatat prestasi tersedniri, tahun 1997 dua orang bocah berhasil menerobos ke landasan pacu bandara kemudian menumpang pesawat garuda dengan sembunyi di dalam ruang roda dan selamat di sukarno hatta jakarta..



di sini pula ketika mandala gagal terbang di awal minggu ini, banyak spekulasi berkembang, mulai dari propeller yang rontok yang kemudian berkembang menjadi upaya perusahaan dalam mensiasati perang taruf dengan melakukan penghematan melalui tindakan beresiko yaitu mengorbankan faktor keselamatan.. lalu usia pesawat yang seharusnya pensiun tahun 2001 lalu.. inipun di kalangan elite jadi bahan pertengkaran karena ukuran pensiun di luar negeri memang 20 tahun tetapi undang-undang yang berlaku di negeri ini menyatakan batas 35 tahun…
bung ini medan.. ada lagi seloroh mengatakan mandala gagal take-off karena bahan bakar pesawat itu telah dioplos, seperti kebiasaan sopir angkutan ibukota yang kebetulan juga dominan berasal dari sumatra utara….

menurut info berat badan mandala plus kargo pada waktu terbang di pagi senin itu adalah 51.997 kg atau hanya 3 kilogram di bawah berat maksimum yang diperkenankan (52.000 kg). pesawat itu juga mengangkut buah paling favorit dari medan yakni durian sekitar 2.000 kg, sementara total kargo adalah 2.977 ton. eh jangan-jangan malah ada beberapa ton durian dan bika ambon yang tidak terdaftar di manifes pesawat, seperti halnya pak paimun yang terdaftar dengan nama lain...
nah lho….




Sabtu, 02 Juli 2005

Kereta 1910


Kamis 30 Juni 2005, siang hari stasiun televisi METROTV menyiarkan filem dokumenter tentang kecelakaan kereta api di Indonesia. Tragedi kereta api terbesar yang tercatat di sini adalah tabrakan KA255 dan KA220 di dekat stasiun Sudimara, Bintaro yang terjadi tanggal 19 Oktober 1987. Peristiwa itu terjadi persis pada jam sibuk orang berangkat kantor, sehingga jumlah korban juga besar sangat besar yakni 153 orang tewas dan 300 orang luka-luka. Tabrakan itu juga melambungkan nama Juned, seorang bocah lelaki berumur 8 tahun yang selamat dari tragedi itu. Ia harus kehilangan nenek yang menjadi satu-satunya gantungan hidupnya, di samping nenek ia juga kehilangan adik satu-satunya dan sebelah kakinya. Berkah dari tragedi yang tidak pernah diharapkankan, bocah Juned yang semula bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa tiba-tiba wajahnya menghiasi seluruh media massa sehingga menjadi terkenal di mana-mana. Kemudian bapak dan emaknya yang semula cerai, sepakat untuk rujuk kembali membesarkan Juned dalam sebuah keluarga yang utuh. Kemudian ketika tragedi itu dikomersialkan ke layar lebar, Juned juga menikmati sejumlah uang.
Namun keterkenalan maupun sedikit uang yang dinikmati itu, ternyata tidak pernah berhasil mengubah nasibnya. Beberapa tahun kemudian uang yang diperolehnya ludes karena usaha ayahnya yang bangkrut. Juned juga ternyata tidak berumur panjang, tahun 2002 lalu masih dalah keadaan serba berkekurangan dalam usia yang masih sangat muda (22 tahun), Juned dipanggil sang Khalik untuk menyusul nenek dan adiknya. Akhirnya kisah Juned-pun tenggelam, bahkan di tayangan MetroTV siang itu juga tidak terungkap.
Masih dari tragedi Bintaro, ada kisah sedih yang dialami Slamet Suradio. Ia adalah masinis KRL255 yang selamat, namun ia harus menanggung nasib buruk yakni dipecat dari pekerjaannya, maka ia memilih pulang ke kampung halamannya menjadi petani di Purworejo sana. Kini ia menapaki masa senjanya dibalut kemiskinan dan menanti seberkas sinar terang untuk memperoleh pengakuan atas jerih payah pengabdian selama lebih 20 tahun di atas roda besi. Nasib yang serupa juga menimpa seorang mantan pengatur sinyal kereta api (Umriadi?), yang juga dinyatakan bersalah dan kini menapaki masa tua juga dengan penuh penantian. Meskipun setelah melalui banding, ia sudah diputus tidak bersalah , namun hingga kini hanya bisa menunggu datangnya mukjizat untuk memperoleh pengakuan atas pengabdiannya selama lebih dari dua puluh tahun. Badan ringkih itu kini acapkali nampak ada di stasiun Rangkas Bitung, sekedar untuk nostalgia dan tentu saja memperoleh belas kasihan kolega yang juga sama-sama pantas dikasihani.
Rupanya tragedi Bintaro belum cukup, sehingga pada penghujung tahun 2001 lalu terjadi dua kecelakaan kereta api Empu Jaya yang terjadi hanya berselang 3 bulan. Tanggal 2 September 2001 tabrakan KA Empu Jaya dengan KA Cirebon Ekspres dan tanggal 25 Desember 2001 tabrakan KA Empu Jaya dengan Gaya Baru Malam. Mohammad To'ad (masinis Empu Jaya yang bertabarakan dengan KA Gaya Baru) dianggap tidak mengindahkan sinyal maka ia harus dipecat. Sementara Suwanto (masinis KA Empu Jaya yang bertabrakan denga KA Cirebon Ekspres), meskipun menurut visum dokter ada indikasi pada waktu kejadian mengalami serangan jantung, tetapi sudah dicap bersalah, mantan masinis teladan inipun harus dipecat. Apakah mereka itu memang benar-benar bersalah atau hanya kambing hitam?
Berderet tragedi telah diukir oleh perjalanan kereta api di atas rel-nya tetapi maaf bangsa ini cepat menjadi lupa saking banyaknya tragedi, bencana dan teror yang harus diingat. Kereta api memang berjalan pada jalurnya tersendiri yang dilindungi undang-undang, tetapi apakah ia alu tidak bisa dipersalahkan karena nyatanya ia juga tidak mampu melindungi dirinya sendiri. Apakah kereta api yang dianggap sebagai kendaraan paling aman itu, di tangan bangsa carut marut ini akan berubah menjadi mesin pembunuh? Akankah ini akan menjadi pelajaran atau akan segera dilupakan, karena toh di Amagasaki Jepang-pun kecelakaan juga terjadi (25 April 2005)
Baru saja acara dokumenter itu usai…ada berita, baru saja sebuah panther ditabrak kereta Sancaka di Teguhan Madiun.. entah suatu kebetulan atau tidak... disusul dengan tabrakan antara KRL585 dan KRL583 di Pasar Minggu. Kalau dibanding tragedi Bintaro limabelas tahun lalu atau tragedi Empu Jaya tiga tahun lalu memang bukan apa-apanya, namun dua-tiga nyawa juga pastilah sangat berarti bagi keluarga dekat yang ditinggalkannya. Pasti tabrakan itu juga akan disusul dengan kisah pilu para korban, keluarga maupun para pelaksana di lapangan. Tragedi Bintaro melambungkan Juned, Slamet Suradio atau pengatur perjalanan kereta api namun yang pasti tidak banyak berpengaruh terhadap Rusmin Nuryadin (Menhub ketika itu). Tabrakan di pasar Minggu ini juga hanya akan membawa kisah pilu tentang Bunga, Ade Darmawan, Steven atau lainnya.
Maka kita hanya terharu mendengar kata-kata Iwan Fals dalam lagu "Kereta 1910":
















Apakabar kereta yang terkapar di senin pagi
Di gerbongmu ratusan orang yang mati
Hancurkan mimpi bawa kisah
Air mata, air mata
Belum usai peluit belum habis putaran roda
Aku dengar jerit dari Bintaro
Satu lagi catatan sejarah
Air mata, air mata
Berdarahkah tuan yang duduk di belakang meja
Atau cukup hanya ucapkan belasungkawa aku bosan
Lalu terangkat semua beban di pundak
Semudah itukah luka-luka terobati
Nusantara tangismu terdengar lagi
Nusantara derita bila terhenti
Bilakah bilakah
Sembilan belas oktober tanah Jakarta berwarna merah
Meninggalkan tanya yang tak terjawab
Bangkai kereta lemparkan amarah
Air mata air mata
Nusantara langitmu saksi kelabu
Nusantara terdengar lagi tangismu
Nusantara kau simpan kisah kereta
Nusantara kabarkan marah sang duka
Saudaraku pergilah dengan tenang
Sebab luka sudah tak lagi panjang

Kamis, 28 April 2005

Kang Rusik

Sejak pertama mengenal kang Rusik seperti tidak ada perubahan pada dirinya. Umurnya seperti tidak pernah bertambah, tubuh dan perawakannya seperti tidak pernah berubah. Memang kang Rusik sangat mudah dikenal, bahkan bagi yang baru pertama kali bertemu. Bukan lantaran tubuh kang Rusik gagah seperti Doni Kesuma, ganteng seperti Primus ataupun berkumis tebal seperti Andi Mallarangeng, namun kang Rusik dikenali karena bentuk fisiknya yang merupakan parodi selebritis.. Tubuhnya bogel, hanya kalah bersaing dengan Ucok Baba, rambutnya ikal keriting seperti N!xau tuh orang Afrifa yang jadi bintang “The God must be crazy”. Kepalanya relatif besar dibandingkan tubuh keseluruhan dan wajah yang “menakutkan” terutama bagi yang belum kenal, dahi menonjol, hidung pesek serta, rongga mulut yang maaf... dipenuhi gigi acak-acakan sehingga bibirnya yang sumbing makin tidak mampu menutupinya dengan baik. Suaranyapun sengau lebih parah dibanding Komeng Cihuuuiii, sehingga untuk bisa mengenali apa yang diucapkan bibir sumbungnya perlu latihan khusus. Memang orang bisa saja menilai, tidak ada kesempurnaan pada diri kang Rusik.
Sejak aku pertama kenal dia adalah sebagai gembala domba, bahkan ketika terakhir aku melihatnya ia juga sedang sedang angon wedus dombanya. Memang kang Rusik adalah identik dengan angon wedus, jarang kami menemui kang Rusik melakukan aktivitas lain seperti sekolah atau melakukan pekerjaan lain, kecuali seminggu sekali ia sedang Jumatan di masjid desa.
Domba-domba yang digembalakan kang Rusik adalah punya orang yang dititpkan kepadanya. Ia memperoleh bagi hasil kalau domba itu beranak. Domba-domba itu sudah merupakan sebagian dari kehidupannya yang sebatang kara.
Bagi kang Rusik hidup dimulai ketika bangun pagi, langsung membuka kandang domba yang menjadi satu dengan rumahnya, kemudian mengamati hewan piaraannya. Apakah jumlahnya masih seperti kemarin, apakah ada yang sakit atau ada mengalami gejala aneh lainnya. Ditungguinya sampai embun mengering baru ia mengeluarkan gembalaannya, karena embun di rumput akan membuat moncong alias congor domba-dombanya “bengooren” terkena infeksi.
Setelah itu ia lalu menggiring domba melalui jalan desa berdebu. Bunyi kaki-kaki domba seperti irama perkusi yang merdu. Kadang sambil berjalan dombanya memuntahkan butiran-butiran hitam kecil yang terserak di atas pasir jalanan desa. Kemudian ia ke padang penggembalaan. Di lereng-lereng jalan inspeksi dan kanal dombanya merumput, lalu kang Rusik asik menganyam bunga rumput sambil sesekali menengok dombanya. Setiap dombanya berlari menjauh atau mencoba memagut tanaman tetangga kang Rusik berteriak menghalaunya.
Sore hari tiba ia menggiring-domba-domba itu untuk pulang ke rumah tinggalnya yang juga merangkap kandang dombanya..
Aku terkejut bercampur bangga... ketika tahu bahwa kang Rusik mengenaliku karena ia memanggil namaku.. melambung rasanya seperti dikenal oleh seorang selebriti yang biasa tampil di media. Memang Kang Rusik dengan kesehariannya sudah seperti seorang selebriti di dusun ini. Walaupun penuh dengan segala kekurangannya, tidak pernah ada orang yang menghina, menjahilinya apalagi berniat mencelakai dia. Semua orang respek kepadanya, sebab meski kang Rusik memiliki kekurangan di bentuk fisiknya tidak pernah sekalipun ia merasa terganggu tidak pernah sekalipun ia merasa risau. Iapun tidak pernah mengharu biru kepentingan orang lain. Kang Rusik menapaki hidup ini apa adanya, ia lugu sehingga seperti tidak ada yang disembunyikan dalam kehidupannya. Bahkan sepertinya kang Rusik tidak pernah punya cita-cita atau minimal tidak pernah nampak untuk mencoba untuk meraihnya. Kitapun tidak pernah tahu apakah ia merasa bahagia.....

Rabu, 30 Maret 2005

Bom bu Minah

Sore-sore Kadirun cerita ngecuprus, ndongeng tentang Bu Minah Wadud yang jadi imam dan khotib sholat Jumat (yang tepat imamah dan khotibah… soalnya perempuan) dengan jamaah campuran lelaki dan perempuan. Menurut Kadirun, apapun alasannya perempuan nggak bisa jadi imam bagi lelaki. Alasannya, kalau perempuan jadi imamah, ketika rukuk atau sujud, makmum lakinya sulit konsentrasi karena membayangkan pemandangan indah yang tersaji di depannya... Lagian suara imam perempuan yang merdu akan

membuat makmum lelaki membayangkan Krisdayanti pakai baju seksi atau Britney Spears pake bikini.
Namun kang Tomedjo kurang setuju, karena orang sholat itu kudu konsentrasi, jadi nggak mungkinlah orang sholat bener mikir yang nggak-nggak apalagi yang mesum seperti itu.
“Lagian bu Minah iku sudah setengah baya.. dan beliau itu kompresor eh.. propessor ahli agama, jelas mumpuni di bidang itu, bacaan Quran dan Arabnya sudah pasti faseh... saya kira kok pantes-pantes saja jadi imam. Apalagi.. kalau kebetulan di situ dia yang terbagus bacaan Quran maupun ilmu agamanya, lainnya termasuk kaum lakinya yang bisa baca Quran cuma blekak-blekuk dan ilmu agamanya juga pas-pasan... apa lalu dipaksa jadi imam atau khatib dan bu Minah jadi makmumnya?. Dalam ibadah itu kedudukan laki dan perempuan itu kan sama, wong sama-sama diganjar.. kalo ingkar ya sama-sama dosa kok”.
Kang Saimo ikutan nimbrung, “Nek tak pikir-pikir.. itu kan ada hubungannya gerakan persamaan gender yang sudah ada sejak jaman bu Kartini dulu. Lha aku dengar orang Departemen Agama ada yang ahli persamaan hak gituan kok. Kalau nggak salah namanya bu Musdah Mulia yang katanya mengharamkan poligami dan usul supaya laki-laki punya massa idah juga, biar para lelaki tukang kawin tidak lagi bisa mempermainkan wanita”.
“Lho Mo.... perempuan mau nuntut persamaan apalagi? Jangan nuntut... kalau dasarnya cuma rasa iri dan cemburu saja, itu namanya mengada-ada. Laki-laki dan perempuan itu beda karena pembagian tugas. Semua pada porsinya masing-masing, nggak bisa kalau semua dibuat sama. Lelaki dan perempuan itu tetep beda, bentuknya fisiknya saja udah beda. Apalagi pada solat Jumatnya si Minah itu, mosok lelaki dan perempuan dicampur... apa nggak kebablasan namanya. Memang sih di Masjid Haram seperti itu, tapi kan nggak bisa digeneralisir, Tanah Haram nggak bisa disamakan dengan tempat lain dong. Kalau lelaki dan perempuan itu sama.. lha mbok cuti haid dan melahirkan dihapus saja, atau sekalian toilet laki-laki dan perempuan di tempat umum juga dicampur saja, biar si Saimo sering-sering pergi ke toilet..”, ujar Kadirun dengan agak geram.
“Lho bagaimana to Kadirun iki”, kata Tomedjo, “Masalahnya ini kan ngibadah solat Jumat jangan melebar kemana-mana. Memang saya juga percaya dan yakin bahwa perempuan itu beda bentuk dengan laki, sudah kodrat perempuan bisa haid dan hamil sedangkan laki nggak bisa, itu sudah dari sononya. Tapi apakah Tuhan ketika akan memberikan ganjaran sebuah amal atau hukuman dari kemaksiatan itu mempertimbangkan jenis kelamin?”.
“Lha masalahe ngene kang Djo... “, Kadirun memotong, “Hukum bagi lelaki dan perempuan itu nyatanya juga beda. Bu Minah iku rak perempuan.. konon secara hukum nggak wajib Jumatan, jadi kalau Jumatannya itu nggak sah.. bagi dia sih nggak masalah.... Tapi bagaimana dengan makmum lelakinya yang baginya Jumatan itu wajib?
Kyai Badri yang dari tadi diam saja ikut nimbrung, “Sudahlah... nggak bakalan ada habisnya. Tapi bagi saya Gusti Allah itu nggak pernah tidur.. tahu semuanya, tahu apa yang ada di hati kalian, tahu juga yang ada di hati bu Minah itu. Niat bu Minah itu mau menyempurnakan cara beragama Islam atau justru sebaliknya... itu Gusti juga tahu. Orang berpendapat sih boleh-boleh saja, justru orang memang diwajibkan mempergunakan akalnya. Agama itu akal tetapi jangan beragama dengan cara akal-akalan. Cuma kalau saya, sejauh ini seandainya mau Jumatan ternyata imamnya perempuan... rasanya kok masih lebih mantep pergi di mesjid lain di dekat situ yang imamnya laki asli. Kalau ternyata nggak ketemu juga... lebih baik ya nggak jumatan, wong kemarin saja juga nggak sholat maghrib karena macet kekunci di jalan. Wis ah... ayo udah manjing magrib tuh ... kita sholat bareng yuuuk..”

Jumat, 11 Maret 2005

Mensyukuri Nikmat

Tidak terbilang nikmat yang telah Allah anugerahkan mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut “Jika kamu menghitung nikmat Allah SWT, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya (QS 14:34). Belum nikmat yang lain seperti kesehatan, keamanan, keselamatan, derajad, pangkat, harta benda, keluarga, tanah, air, udara, alam lingkungan. “Dia juga menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu lahir batin (QS 31:20). Maka pantas puluhan kali dalam Surat Ar-Rahman Allah menyeru: “Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Masih belum cukupkah nikmat yang kita terima agar mampu bersyukur?. “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah kepadamu, dan jika kamu mengingkari, maka sesungguhnya adzab-Ku sangatlah pedih" (QS 14: 7). Ternyata dengan mensyukuri nikmat-pun Allah SWT masih akan memberi tambahan nikmat. Betapa Maha Pemurah Allah SWT itu.
Memang, nafsu serakah selalu menghambat langkah menuju syukur. Oleh karena itu diperlukan sikap qana’ah yaitu menerima apa adanya nikmat yang telah Allah berikan dengan berprasangka baik, bahwa semua itu adalah yang paling baik dan yang paling sesuai sesuai dengan porsi kita masing-masing. Dalam Hadist Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari, Nabi Muhammad SAW berkata, "Jadilah kamu yang qana'ah, kelak kamu akan menjadi orang yang banyak bersyukur".
Lalu, apakah syukur itu? Apakah syukur itu adalah mengajak kerabat untuk makan enak atau berpesta dengan maksud untuk berbagi rasa suka dan memberi motivasi mereka dalam mengejar prestasi yang sama atau bahkan melebihi?
Bukan! Hakekat syukur sebenarnya terletak pada relasi antara “penerima nikmat” dengan “pemberi nikmat” serta pemanfaatan kenikmatan itu sendiri. Dalam pengertian itu syukur dapat dibagi menjadi tiga tingkat.
Tingkat terendah adalah syukur verbal, yakni mengucapkan “terima kasih” atas nikmat yang diterima. Dengan mengucapkan terima kasih lalu penerima lantas merasa lepas ikatan dengan pemberi nikmat dan merasa punya otonomi penuh untuk mempergunakan kenikmatan sekehendak hatinya. Inilah yang disebut syukur ritual, syukur “sopan-santun” atau “basa-basi” belaka.
Syukur yang lebih tinggi, di samping mengucapkan terima kasih juga ditambah dengan pengakuan bahwa nikmat yang diterima adalah sebuah “amanah” atau kepercayaan. Sehingga dalam pemanfaatannya keterlibatan pemberi nikmat masih diperlukan. Misalnya seseorang yang diberi nikmat tubuh yang sehat dari Allah SWT, walaupun telah mengucap Alhamdulillah namun tetap berusaha mempergunakan tubuh sehatnya untuk berbuat kebaikan atau beribadah kepada-Nya. Syukur semacam ini memang sudah baik, tetapi masih belum sempurna.
Syukur yang sempurna, di samping mengucapkan terima kasih dan merasa menerima mandat, juga dilengkapi dengan mendaya gunakan nikmat seoptimal mungkin. Misalnya mensyukuri nikmat akal budi, disamping mengucap syukur dan menjaga amanah, juga dilengkapi dengan mengasah dan mengembangkannya terus menerus dengan belajar dari segala yang tersurat maupun yang tersirat di hamparan alam ini, serta mempergunakan nikmat itu sebaik-baiknya. Cara mensyukuri nikmat sumber daya alam, disamping mengucap syukur dan mengemban amanah juga dilengkapi dengan mengeskploitasi secara optimal namun bertanggung jawab, memberinya nilai tambah agar lebih bermanfaat. Cara mensyukuri nikmat hidup disamping mengucap syukur dan menjaga amanah adalah mengisi hidup ini sebaik-baiknya sehingga tidak merugikan orang lain, bahkan sedapat mungkin memberi manfaat bagi manusia lain maupun lingkungan. Jadi syukur nikmat yang tertinggi adalah bila nikmat yang diterima itu berdaya guna bagi diri sendiri, lingkungan, maupun alam sekitar dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Memang itulah tugas manusia “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. 51:56).
Wallahu a’lam...(kangucup).

Senin, 28 Februari 2005

Provokatif dan Menggelitik

Provokatif dan Menggelitik ini adalah komentar atas sebuah cerita pendek berjudul "Tuhan, Kencan Yuk!" di situs berita Depok Metro:
Di mulut kolong bawah jembatan jalan tol lingkar luar Jakarta tepatnya di Bintara, Bekasi Barat, menjelang peringatan kemerdekaan RI ke 59, muncul gambar pahlawan tetapi bukan Teuku Umar, Imam Bonjol atau Diponegoro, melaikan Che Guevara, Kurt Cobain, John Lennon. Ketiga nama disebut terakhir memang berlainan latar belakangnya, tapi semuanya meninggalkan ajaran, karya atau setidaknya perjalanan hidup yang bisa dibilang "kiri" atau berbau kiri, ketiganya berambut gondrong dan ketiganya mengalami kematian yang tragis...
Memang kiri itu bukan tengah dan bukan kanan, bukan tengah itu extraordinary atau orang Jawa bilang “nyleneh”. Yang extraordinary itu menarik perhatian, maka ketika mencari jati diri dan agar dapat perhatian remaja sering berperilaku nyleneh. Nyentrik istilah tahun 1970-an dulu...
Tahun 1968 Majalah Sastra memuat sebuah cerpen berjudul "Langit Makin Mendung" (LMM) karya karya Ki Pandji Kusmin (KPK) yang kemudian jadi kontroversi. Siapa sebenarnya Ki Pandji Kusmin itu adalah misteri, HB Jassin (Pemimpin Redaksi) di sidang pengadilan bahkan sampai akhir hayat beliau tidak pernah membuka jati diri KPK. Isi cerpen itu bagi sementara orang memang provokatif dan menggelitik, karena digambarkan Nabi Muhammaad bosan di sorga, lalu mohon kepada Tuhan untuk cuti turun ke bawah (turba istilah populer ketika itu). Kunjungan ke kawasan kumuh di Senen Jakarta ternyata berhasil menyaksikan kebobrokan moral bangsa Indonesia termasuk pemimpin tertingginya waktu itu yakni Bung Karno...
Tiga puluh tujuh tahun kemudian, lantaran Senen sudah sumpek, setting beralih ke sebuah kamar kos yang dalam bayangan saya di daerah pinggiran Jakarta, seperti sekitar Margonda atau Kukusan di Depok sana. Mungkin karena jaman memang sudah berbeda atau karena publikasinya kurang luas karena hanya lewat website, sehingga cerpen ini luput dari perhatian. Motif kehadiran Tuhan di kamar kos itu-pun tidak jelas seperti ketika Nabi turun ke Senen. Kehadiran kali ini hanya dekat dengan dunia kos-kosan saja.... kalau nggak ngobrol, main game playsyaiton (....eh maksudnya playstation) tentu saja kencan, atau keseharian biasa remaja di kamar kos. Tetapi ada yang sedikit aneh, mengapa dunia komputer dan internet sama sekali tidak disinggung dalam cerpen ini.
Kehadiran Tuhan-pun juga agak meragukan, karena figur yang tidak jelas, satu-satunya bukti otentik hanya sepucuk surat tanpa perangko... sehingga bisa saja ditafsirkan bahwa yang hadir itu sebenarnya bukan Tuhan tetapi hanya yang dipertuhankan, tuhan-tuhanan atau tuhan jadi-jadian... atau jangan-jangan malah "...tu-han-tu… han-tu…" alias "penampakan....."
Dulu di kampung sana ada koran bahasa Jawa "Dharma Kandha" (kemudian pecah dan punya kembaran bernama "Dharma Nyata") yang terkenal sekali di kalangan akar rumput karena ramalan buntutan NALO yang konon jitu. Di koran itulah Arswendo Atmowiloto melalui tokoh Min Pedet (Pijet) menulis.. "seandainya ada pengumuman dari surga Tuhan telah mati.. apakah masih ada orang yang mau menyembah juga?"... Tulisan itu meskipun sempat jadi polemik, tidak tidak membuat Arswendo didemo atau diseret ke pengadilan. Barangkali dia tertolong dengan kata "seandainya"...
Jadi sebenarnya sudah dari dulu cerita semacam itu ada. Meskipun begitu, dalam benak hingga kini masih terpatri keyakinan, bahwa Tuhan yang sebenarnya tidak akan berkurang kemuliannya hanya karena dilecehkan oleh seorang anak manusia...
Namun masih ada pertanyaan yang akan menimbulkan perdebatan... apakah Tuhan itu masih perlu dibela???
Jawabnya terserah anda..

Selasa, 22 Februari 2005

Memahami bencana apa adanya

Bencana terjadi bukan diakibatkan oleh alam yang membangkang ataupun menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan atasnya. Bencana justru terjadi karena alam tunduk kepada takdir Ilahi yang telah ditetapkan kepadanya.
Ketika terjadi banjir, itu akibat sunatullah bahwa air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Ketika air hujan ditumpahkan namun tidak bisa meresap ke dalam tanah sedangkan ketika akan mengalir jalannya terhalang, maka air akan mencari jalan lain dengan meluber ke kanan-kiri atau menerjang segala rintangan tanpa peduli bahwa di situ telah dihuni oleh manusia. Bumi ditakdirkan memiliki kerak dengan lempengan-lempengan yang selalu bergeser sedikit-demi dan saling desak satu sama lain, sehingga kalau desakan semakin kuat, pada suatu saat kedua lempengan akan melenting sehingga energi yang telah terkumpul bertahun-akan tahun akan dilepaskan mendadak sehingga terjadilah gempa bumi. Seperti efek domino, gempa bumi dapat mengoncang massa air laut sehingga terjadi gelombang tsunami yang menyapu daratan dan menimbulkan musibah dahsyat yang mengancam alam dan kehidupan termasuk manusia.
Walaupun sebelumnya tidak selalu bisa diprediksi dengan tepat kapan bakal terjadi, bencana umumnya bisa diterangkan logika prosesnya. Proses bencana terjadi menurut hukum-hukum Allah yang dapat dipahami oleh akal manusia, maka bencana itu bukan terjadi dengan tiba-tiba melainkan terjadi sesuai sunatullah yang berlaku padanya. Ummat yang berada di daerah bantaran sungailah yang akan mengalami bencana banjir, ummat yang tinggal di dekat patahan kerak bumilah yang akan mengalami gempa, tidak selalu ada korelasi antara kezaliman dengan bencana yang menimpa.
Dengan perspektif pemahaman seperti itu, dalam terjadinya bencana, Allah tidak kejam semena-mena meskipun memiliki kuasa untuk berlaku demikian. Karena sunatullah itu berlaku universal, bencanapun tidak pernah memilih apakah yang akan tertimpa adalah seseorang yang beriman dan banyak amal saleh ataupun orang yang ingkar dan tidak dalam hidupnya tidak pernah ada nilai kebaikan.
Hukum atau kodrat alam-pun tidak berubah hanya karena sebuah bencana, maka gempa bumi, tanah longsor, tsunami sangat mungkin akan terjadi kembali. Sungguh suatu kerugian yang sangat besar apabila kita tidak bisa mengambil hikmah atau pelajaran berharga dari bencana yang pernah terjadi, yakni untuk memahami bencana itu sendiri maupun mengantisipasi bila terjadi kembali di masa yang akan datang.

Senin, 03 Januari 2005

Di balik tsunami

Saat ini, di kantor, warung, gardu ronda, jalan, angkutan dan tempat umum berulang orang menyebut kata tsunami. Istilah itu impor, tetapi tsunami dengan korban terbesar terjadi di negeri ini. Dibandingkan bencana besar sebelumnya seperti gempa bumi Bam Iran tahun 2003 lalu dengan korban 26.271 jiwa gempa tsunami Aceh lebih banyak menelan korban. Dibandingkan sesama bencana tsunami besar seperti di Selat Sunda ketika Krakatau meletus tahun 1883 dengan korban 30.000 jiwa, maupun tsunami Jepang tahun 1896 dengan 27,000 jiwa, tsunami Aceh jauh lebih besar jumlah korbannya. Karenanya tsunami Aceh bisa disebut terdahsyat yang tercatat dalam sejarah dalam hal jumlah korban yakni lebih dari 150.000 jiwa.
Akibat tsunami di akhir tahun 2004 lalu sebagian NAD dan Nias porak poranda, puluhan ribu nyawa dikubur tanpa identitas yang jelas. Sekurang-kurangnya satu di antara empat penduduk pantai utara dan barat propinsi NAD tewas terseret tsunami. Bahkan lebih separoh penduduk Meulaboh, Lok Nga dan beberapa kota kecil di dekat situ tidak diketahui nasibnya. Dengan kondisi seperti itu, kalaupun ada keluarga, sahabat atau kenalan yang tinggal di daerah bencana, kalaupun masih selamat pastilah ada keluarganya yang ikut tewas. Sungguh sangat mengenaskan... bencana yang berlangsung hanya sekitar empat menit telah menyebabkan ribuan orang menjadi sebatang kara, ribuan anak tiba-tiba menjadi yatim piatu, bahkan tidak kurang yang tewas sekeluarga sehingga punahlah garis keturunannya.
Bencana sudah terjadi, jarum jam tidak bisa diputar balik, yang sudah terjadi tidak bisa di "undo" seperti program Window.. yang diperlukan kini adalah menatap dan menata masa depan. Kejadian lalu dijadikan acuan dalam menatap masa depan. Tetapi adakah hikmah tersembunyi yang bisa diambil dari bencana mengerikan itu? Mungkin tidak banyak dan dianggap mencari-cari, tetapi sesungguhnya sangat penting dalam menatap masa depan Aceh dan negeri ini.
Kini setelah NAD luluh lantak, mata kita baru terbelalak... bahwa bencana besar sedang mengintai. Betapa, nusantara yang indah bak rangkaian ratna mutu manikam ini ternyata menyimpan energi perusak yang luar biasa. Pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, pesisir Nusatenggara, Sulawesi, Maluku, dan banyak daerah lain ternyata rawan bencana. Tetapi apakah kenyataan itu membangkitkan kesadaran tentang perlunya mitigasi terhadap bencana, masih menjadi tanda tanya. Adakah setelah ini akan dimulai penataan lingkungan pantai, bangunan tidak didirikan persis di bibir pantai karena di situ perlu ditanami nyiur melambai atau cemara laut yang berguna menjadi pemecah ombak bila air laut meluap?
Memang banyak yang kemudian menjadi kawatir akan terjadi bencana, tetapi belum tentu cukup untuk membangkitkan kesadaran tentang perlunya persiapan diri dalam menghadapi bencana, baik dalam mengantisipasi sebelum terjadi, langkah penyelamatan dikala terjadi maupun recovery paska terjadinya bencana. Entahlah, apakah setelah ini akan ada program pelatihan bencana gempa maupun tsunami di sekolah, instansi ataupun masyarakat luas. Seandainya ada apakah itu akan menjadi tradisi yang berlangsung lama ataukah hanya sekedar menjadi seremoni yang hangat-hangat tahi ayam.
Apakah setelah ini akan dibangun mekanisme peringatan dini, termasuk sosialisasi tentang hasil kajian ilmiah maupun tanda-tanda alam yang menunjukkan akan datangnya bencana. Dari berita terekam bahwa fenomena air laut yang menyusut drastis setelah gempa yang berdasarkan pengalaman justru merupakan pertanda akan datangnya bahaya lebih besar, justru menarik perhatian orang untuk berbondong-bondong mendekati pantai. Kasus P Simeuleu yang paling dekat dengan episentrum, tetapi ternyata jumlah korban "hanya" 4 orang bisa menjadi bahan pelajaran berharga. Memang upaya manusia bukan untuk menghentikan bencana, tetapi hanya sebatas mengurangi terjadinya kerugian akibat bencana.
Bencana Aceh juga menegaskan, bahwa di tengah arus globalisasi dan modernisasi, masih banyak orang yang punya nurani. Masih banyak orang yang mau membantu mengorbankan tenaga dan harta benda minimal doa tanpa mengharap balasan apapun juga. Seluruh anak bangsa turut membantu, termasuk yang baru saja tertimpa bencana serupa seperti Papua. Seluruh dunia juga ikut bergerak, negara adikuasa yang biasanya bertingkah menyebalkan dan arogan ternyata juga mau mengulurkan tangan untuk memberi bantuan. Kalaupun pada kenyataannya nilai bantuan itu tidak seberapa dibandingkan bom dan mesiu yang mereka gunakan untuk menghacurkan Irak dan Afganistan, itu tidak menjadi alasan untuk menampik atau tidak menghargai bantuan mereka. Di sini bicara tentang manusia dan kemanusiaan tanpa memperhatikan politik, ideologi, agama dan keyakinan, ras, suku, kelompok, status sosial atau sekat-sekat lainnya.
Kebetulan Aceh yang selama ini bergejolak.... setelah tertimpa bencana ternyata mendapat perhatian dari segala penjuru, mendapat uluran tangan dari siapa saja. Kalau Pemerintah dan bangsa Indonesia serius membantu rakyat Aceh, maka isu separatisme tidak akan laku lagi di mata rakyat. Kemana engkau GAM? Keluarlah dari sarangmu, singsingkan lengan bajumu untuk ikut serta kita meringankan derita saudaramu yang juga saudara kita... Kini bukan saatnya bertikai, kini saatnya bersama-sama berbuat agar rakyat Aceh kembali seperti sediakala bahkan ditinggikan derajadnya.
Dari sisi spiritual, bencana Aceh juga mengajarkan tentang keterbatasan manusia dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Ternyata manusia memang tidak bisa lepas dari manusia lain maupun kekuatan di luar dirinya sendiri seperti alam, lingkungan, dan juga dengan sang Khaliq. Dalam kontemplasi boleh mempertanyakan kepadaNya, apakah musibah ini merupakan hukuman, peringatan atau ujian.