Senin, 27 Desember 2004

Ketika alam menunjukkan keperkasaannya


serentetan musibah dan bencana silih berganti mendera..
ketika belum kering air mata...
ketika duka di hati belum reda...
tiba-tiba datang musibah dan bencana
dengan dahsyat menimpa...
.... cukup sudah rasanya
walaupun itu belum seberapa
dibanding keperkasaan sebenarnya..


apakah semua ini ini
kutukan akibat pengingkaran?
hukuman terhadap kesalahan?
peringatan terhadap penyimpangan?
ujian untuk mencapai kemuliaan
atau tidak ada arti apa-apa..





tapi bagaimanapun..
bencana demi bencana telah terjadi,
musibah dan musibah silih berganti,
tak bisa dihindari meski tidak satupun yang menghendaki
karenanya, hendaklah bisa jadi bahan penyadaran
terhadap nilai yang telah terlupakan,
bahwa manusia punya banyak kelemahan dan keterbatasan,
juga menumbuhkan kembali nilai-nilai kemanusiaan,
menyadarkan kembali terhadap arti tolong menolong dan sayang-
menyayang,

Rabu, 22 Desember 2004

Kesawan dan masa silam

Gerimis sore mendinginkan kota Medan, membawa kaki ini ke pecinan kawasan Kesawan. Di antara gedung-gedung tua kusam, yang dikala siang hiruk-pikuk dengan kegiatan bisnis tradisional, di malam harinya ada gemerlap lampu dan hingar-bingar karena menjadi tempat sekedar makan malam. Memang di antara deretan tenda-tenda berwarna warni yang digelar, agak sulit mencari yang halalan dan tayiban, tetapi menikmati suasana malam di tempat itu masihlah cukup menyenangkan.
Tertumbuk mata ke sebuah gedung tua ber-arsitektur Cina kurang terawat. Gedung tua bercat hiaju itu mengingatkan kita pada suasana di filem kungfu Shaolin. Itu adalah rumah Tjong Ah Fie, kata orang-orang situ.
Menelusuri, siapa itu Tjong Ah Fie tidaklah sulit, karena kisah kedekatannya dengan Sultan Deli bahka memiliki andil yang besar dalam pembangunan istana Maimoon maupun bangunan bersejarah lain di kota Medan.
Kota Medan yang kini kota terbesar ketiga di Indonesia, di masa lampau adalah kota perkebunan. Ah... langsung teringat kelahiranku –dan kebetulan namanya mirip Madiun— yang ternyata juga dibangun dari hasil pertanian. Kakek nenekku dulu berceritera tentang werk Deli, yang merekrut orang-orang kampung di Jawa untuk diperkerjakan di perkebunan tembakau di tanah Deli. Sebuah kisah yang menakutkan dengan ditambahi mitos “mobil cap gunting” yang menculik anak di bawah umur.
Saat ini jejak para buruh dari Jawa di tanah Deli masih terlihat, populasi keturunan mereka di daerah ini cukup besar. Bahkan di antara mereka pernah melambungkan daerah tersebut di dunia olahraga sepakbola.
Dari cerita kakek direkrut oleh werk Deli merupakan sebuah “bencana” dan penuh dengan kisah mengerikan, tetapi tanah Deli di masa lalu yang sebenarnya bukanlah sebuah kamp pembuangan. Terbukti di masa lalu cukup menarik orang luar untuk berbondong-bondong datang ke daerah ini terutama untuk bekerja di perkebunan tembakau. Tjong Ah Fie ternyata adalah salah satu figur yang berperan dalam pengerahan TKC (tenaga kerja cina) ke tanah Deli. Bahkan dari aktivitas inilah Tjong Ah Fie meraih sukses dan menjadi kaya raya.
Kini, kejayaan tembakau Deli hanya tinggal menjadi sejarah, memang ada keturunan buruh Cina yang jadi taipan di negeri ini, tetapi rumah Tjong Ah Fie nampak semakin kusam, karena generasi penerusnya tidak ada yang mampu lagi mempertahankan kerajaan bisnisnya. Nasib orang-orang Jawa keturunan buruh kasar-pun sebagian besar tidak jauh berbeda dengan nenek moyangya dahulu. Yang jelas berubah... dahulu, tenaga kerja asing berlomba ke tanah Deli untuk menggapai sukses, kini berbalik... orang Indonesia harus mengais rejeki untuk sekedar bertahan hidup ke negeri jiran menjadi buruh perkebunan, itupun harus dikejar serdadu karena dianggap sebagai pendatang haram....

Selasa, 09 November 2004

Kemenangan macam apa yang saya raih?

Ketika Ramadhan segera berlalu terbersit pertanyaan menggelayut, apakah saya termasuk yang akan memperoleh kemenangan, mengingat sepanjang bulan ini justru merasakan sebagai "golongan yang terbelenggu" ketimbang golongan yang merasakan kenikmatan ibadah?
Dulu, ketika datang tidak pernah merasa perlu ada persiapan istimewa untuk menyongsongnya. Ketika Ramadhan akan pergi juga tidak merasa perlu untuk menyesalinya padahal pada saat itu langit, bumi dan para malaikat-pun menangis. Bahkan di saat itu merasa senang karena akan segera terlepas dari beban yang terasa mengekang banyak keinginanku. Di saat-saat terakhir menjelang kepergian Ramadhan yang seharusnya harus lebih banyak waktu tercurah untuk menambah kuantitas dan memperbaiki kualitas ibadah Ramadhan dalam rangka untuk lebih dekat denganMu, semakin habis waktuku tersita untuk mempersiapkan kemeriahan hura-hura lebaran.
Dengan gamang kusambut Syawal atau bulan peningkatan, dengan pertanyaan yang juga menggelayut, adakah saya gagal dalam menjalani Ramadhan tahun ini?
Adakah di bulan-bulan selanjutnya nanti saya masih bersedia meluangkan waktu untuk melangkah ke rumah-Mu untuk bershalat jamaah? Adakah di tengah kesibukanku nanti masih terbersit niat untuk membaca ayat-ayat-Mu? Adakah ditengah malam, saya masih bersedia bangkit dari tidur hanya untuk ber-audiensi dengan-Mu?. Adakah saya masih terus berupaya untuk menjauhi segala sesuatu yang sia-sia, menahan gejolak nafsu, berpaling dari maksiat dan larangan-larangan-Mu lainnya sebagaimana kulalukan dengan susah payah ketika bulan Ramadhan lalu? Di samping profetik individual, tidak kurang pentingnya adakah candradimuka ini juga mampu mengasah kepekaan sosial -ku dalam ikut merasakan derita kaum yang teraniaya atau kaum papa, sehingga mampu berempati, tumbuh niat tulus serta mau mengulurkan tangan dalam ikut menyangga beban mereka.
Ya Allah... saya mohon pertolonganMu untuk mampu melaksanakan itu dan berilah kesempatan untuk dapat lebih merasakan nikmat Ramadhan lagi di tahun yang akan datang..

Selasa, 19 Oktober 2004

Puasa kok minta dihormati…

Puasa itu ibadah khusus, kalau amalan lain itu diperuntukkan bagi yang melaksanakan tetapi amalan puasa khusus untuk Allah semata (Hadist Qudsi). Memang puasa itu istimewa karena hanya diwajibkan khusus kepada orang yang beriman (QS 2:183), jadi kalau nggak beriman ya nggak wajib puasa. Sedangkan tujuan puasa adalah supaya orang yang beriman itu menjadi orang bertaqwa.
Puasa adalah fitrah, karena fenomena “puasa” bisa ditemui di banyak kehidupan flora dan fauna di alam dan menjadi ajaran di beberapa agama atau budaya meskipun dalam bentuk bervariasi.
Namun berpuasa itu tidak gampang, nyatanya betapa banyak yang berpuasa tetapi memperoleh apa-apa kecuali lapar dan dahaga (Hadist). Apalagi manusia suka menjebakkan diri ke dalam ritus-ritus atau simbol-simbol ketimbang memahami hakekat dan jiwa dari ibadah termasuk puasa.
Puasa yang antara lain merupakan “bulan latihan untuk menahan diri” dan belajar ber-empati tentang kehidupan fakir miskin ternyata malah menjadi “bulan konsumtif” besar-besaran. Bagaimana tidak, menu makanan saja di bulan ini meningkat tajam dan tidak realistis dibandingkan bulan lain. Ritus-ritus seperti buka bersama atau extra menu di rumah tangga sering menghasilkan banyak kemubaziran. Memang nafsu menggebu itu terjadi di siang hari ketika tengah menderita karena puasa, padahal akan langsung padam hanya ketika bibir basah dengan beberapa tetes air bila bedug magrib tiba.
Salah satu dari beberapa kekeliruan Umat Islam di bulan puasa sebagaimana disitir oleh Yusuf Qardawi adalah dijadikannya puasa sebagai alasan untuk bermalas-malasan dan excuse untuk tidak berprestasi. Padahal banyak prestasi gemilang yang diukir Nabi di bulan Ramadan, bahkan kemerdekaan Indonesia juga terjadi di bulan Ramadhan. Di bulan puasa konsumtif ini, banyak orang berlomba-lomba untuk mengaji Al Quran, tetapi tujuannya hanya mengejar pahala seperti sopir angkot mengejar setoran. Memang upaya seperti tidak sepenuhnya salah, tetapi bukankah tujuan “mengaji” itu mempelajari kitab suci kemudian menghidupkannya dalam jiwa untuk menjalankan aktivitas sehari-hari bukan masalah mengejar setoran…
Karena sikap para shoimin juga maka puasa menjadi event konsumtip. Betapa banyak pasar swalayan atau pusat perbelanjaan yang memperoleh pendapatan di atas 30% dari omset setahun hanya dari beberapa hari menjelang hari raya. Media TV menyajikan acara yang katanya “islami” walapun dengan definisi yang masih menyisakan pertanyaan. Apakah musik gambus dan nasyid itu lebih Islami ketimbang musik jazz atau Gregorian? Kenapa tiba-tiba para bintang komedi seperti Komeng, Bagito, Patrio, Kiwil, Basuki, Doyok, Tessy tiba-tiba lebih popular ketimbang ustad atau kyai. Kenapa tiba-tiba Sarah Azhari, Peggy, artis AFI dan KDI menjadi santri dan berbusana lebih rapi tidak lagi menggoda iman lelaki. Lagi-lagi semuanya bukan untuk meningkatkan keimanan tetapi hanya menggiring untuk meningkatkan konsumsi.
Yang lebih membuat geli, ungkapan “hormatilah orang berpuasa”. Gimana nggak geli, wong puasa kok minta dihormati? Bukankah puasa itu hanya untuk Allah bukan untuk tetangga, teman sejawat atau masyarakat lain apalagi yang memang nggak wajib berpuasa. Wong kepingin dihormati kok minta dan setengah maksa. Padahal ibadah demi dihormati orang lain itu riya’ alias pamer “Nih gua puasa… hormatin kita dooong”. Kalau puasa hanya ingin dipuji jelas nantinya “tidak memperoleh apa-apa kecuali lapar dan dahaga”.
Udah dibilang puasa itu hanya untuk yang beriman. Padahal kalau bener-bener beriman, orang itu nggak bakal suka keluyuran ke tempat hiburan malam atau tempat maksiat dan atau yang menjurus maksiat. Jadi ada dan tidaknya tempat gituan mestinya nggak ngaruh bagi orang beriman yang diwajibkan puasa itu. Jadi lucu juga ada hiburan malam yang ditutup hanya karena bulan puasa atau diwaktu orang-orang berimannya lagi puasa. Kalau mau nutup ya sekalian ditutup selamanya.. bukan pada waktu puasa saja… Apalagi penutupan restoran, jelas makin nggak beralasan karena yang nggak puasa (baik yang karena yang nggak wajib atau karena “halangan” yang dibenarkan) kan masih perlu sarapan, makan siang atau ngemil. Kalau ada aturan, sebaiknya aturan untuk membatasi perkara yang menimbulkan kerugian orang banyak bukan aturan untuk mewajibkan untuk melakukan sesuatu.
Puasa itu kan “bulan latihan” oleh karena itu setelah lebaran, bukan berarti semangat puasanya “lebar” atau “bubar”. Seperti “sujud yang membekas” itu bukan berarti kapalan di jidad karena sering sujud, tetapi jiwa sujud yang membekas dalam kehidupan sehari-hari. Kalau bulan puasa nggak ke tempat maksiat, seharusnya di bulan yang lain-pun begitu.

Minggu, 12 September 2004

Ketika teror menyaru dengan horor....

Dari sisi manapun, rasanya tidak pernah bisa terpikirkan ada keuntungan yang bisa dipetik dari tragedi bom di depan Kedubes Australia Jakarta lalu maupun tempat lain di tanah air. Pernyataan ini memperoleh pembenaran ketika sampai saat ini belum pernah terdengar ada pihak yang secara terbuka mengumumkan bahwa dia merasa berbahagia dengan adanya tragedi bom-bom itu.
Ya.. memang bom meledak pasti ber-effek merugikan atau merusak. Tetapi tidak bisa dibantah, bom-bom itu memang sengaja dibuat dan diledakkan. Jadi ada pihak yang memeng menghendaki adanya kerusakan atau kerugian. Apakah pelaku berjiwa vandalism, sekedar gagah-gagahan supaya memperoleh pengakuan tentang keberanian dan kenekatan yang dilakukan, atau mengharap penghargaan tak bernilai atau publikasi atas prestasi yang tidak mudah ditiru oleh orang yang tidak punya nyali....
Bom bisa dianalogikan... maaf... dengan kentut. Memang, kentut tidak pernah dilaporkan bisa menyebabkan kematian, namun kentut juga dilakukan sembunyi-sembunyi dan bisa menimbulkan kepuasan atau kelegaan bagi yang meledakkan. Ketika isi perut penuh, maka udara kotor mendesak katup dan pada ambang tertentu meledaklah kentut yang menimbulkan kelegaan. Setelah itu muncul perdebatan dan saling tuduh..
Apakah bom di negeri ini adalah merupakan ledakan "kentut" dari kesesakan yang menghimpit para pelaku? Lalu apakah alasan itu bisa dijadikan alasan pembenaran terhadap tindakannya?
Apapun alasannya, semua menghujat kecuali yang menjadi pelakunya, ledakan bom sudah kerap kali terjadi di negeri ini, bahkan sudah layaknya seperti even mengerikan yang terencana secara berkala. Jadi ancaman bom di negeri ini sudah bukan lagi sekedar teror yang mengharuskan berpikir dua kali bagi yang akan mengusik keberadaan teroris, kini ancaman itu bisa menimpa siapa saja termasuk yang di luar wilayah atau tidak ada sangkut paut dengan kepentingan-kepentingan yang sedang bertikai. Jadi ancaman bom bukan lagi sekedar teror tetapi sudah menjadi horor yang menghantui sepanjang waktu..

Senin, 06 September 2004

Kring-kring-kring ada sepeda


Sepeda kendaraan segala strata segala usia dan segala kegiatan. Alat permainan si kecil yang baru bisa naik roda tiga, alat transportasi orang desa mengais rejeki di kota, alat olahraga bagi yang muda atau merasa muda, alat untuk nostalgia dan berbagi rasa bagi yang memiliki kegemaran yang sama. Pak guru tua terengah berpelu mengayuh sepeda menuju tempat untuk mengajar dan mendidik para muridnya, bapak-bapak tua di utara Jakarta mengais rejeki dengan ojek sepeda, sementara yang berduit naik sepeda titanium berharga puluhan juta. Simplex, , Fongers, Gazelle, Raleigh (sampai sekarang) adalah contok merek andalan tempo doeloe. Generasi berganti muncul Federal disusul Wim Cycle, BMX, Polygon, Raleigh, Cannondale, GT, Scott dan beberapa merek beken lainnya. Aksesorisnya bervariasi, ada rim karet, teromol, cakram sampai sandal jepit (kalau berhenti sandalnya diseret ke tanah atau ke ban). Yang ngetop bikinan Shimano Jepang. Ada yang gir tetap sampai multi gear yang berbunyi clik, clik, clik..... dengan bel ting-tong.....ting-tong...
Ternyata sepeda juga punya andil dalam bias gender, karena sepeda ada yang berjenis laki-laki, perempuan dan ada pula yang jengki. Lelaki naik sepeda lelaki sudah sewajarnya, lelaki naik sepeda perempuan masih pantes, tetapi perempuan (pakai kebaya atau rok mini) naik sepeda lelaki jadi bahan bisik-bisik tetangga yang suka gosip. Banci jadi bahan olok-olok di masyarakat, tetapi sepeda jengki justru lebih banyak diterima di kalangan orang muda. Lebih praktis, ringan, enak dipakai dan cocok untuk segala medan.
Pada jamannya sepeda pernah menjadi kendaraan para bangsawan dan eksekutif. Foto penunggang sepeda bukan saja yang memakai celana seadanya dan atau baju kumal bertambal, bukan pula yang ber-kostum ketat meriah dari bahan satin, tetapi juga mereka yang berjas dan berdasi. Ratu Juliana dan putri Marijke pernah bercengkerama di atas sepeda (1953). Di tahun 1990-an, walaupun sekedar seremonial pertama dan terakhir, RI 1 bersepeda tandem dengan ibu negara menyusur jalan kota satu kilometer dalam pengawalan ketat para ajudan.
Di masa lalu sepeda juga simbul kepatuhan anak pada orang tua. Kerelaan sang kakak berpanas berpeluh mengayuh sepeda puluhan kilometer tiap hari dari desa ke kota menuntut ilmu merupakan salah satu wujud kepatuhan dan semangat pantang menyerah. Duka sang kakak dengan celana ditisik di pantat karena jebol kena sadel merupakan contoh baik bagi para adik. Padahal adik bersekolah ke kota dalam jaman yang sudah berbeda.
Ketika jalanan kota padat macet penuh polusi dari gas emisi, sepeda sebenarnya bisa menjadi salah satu solusi. Tetapi tidak pernah menjadi wacana untuk ke sana, karena pekerja di kota ini adalah komuter, yang tiap hari menempuh jarak puluhan kilometer yang mustahil ditempuh hanya dengan kaki mengayuh tanpa bantuan mesin yang minum bensin.
Akhirnya fungsi sepeda bukan menjadi sarana transportasi tapi kembali menjadi gaya hidup yakni sekedar untuk berolahraga di jalanan kota, di desa-desa atau menuruni lembah pegunungan, atau sarana kongkow-kongkow orang sehobi, bernostalgia atau menunjukkan nilai koleksi buah dari ketekunan yang membanggakan. Lain halnya bagi yang kurang beruntung, ia masih merupakan transportasi yang murah dan alat untuk mengais rejeki di tengah ganasnya kehidupan.. sambil berteriak nyaring... siomay... bakso... sol sepatu... kursi jog...
Geos, genjot, onthel terus....kring...kring..kring...

Senin, 23 Agustus 2004

Buruan Cium Gue

Cium merupakan salah satu cara pengungkapan kasih-sayang. Maka yang namanya nyium itu nggak perlu disuruh-suruh, apalagi dipaksa. Lalu bagaimana kalau cewek yang penyiar radio, demi gengsi karena dua tahun pacaran ternyata belum pernah ciuman sekalipun lalu "memaksa" pacarnya untuk segera menciumnya?. Lucu?.... ya, memang filem “Buruan Cinta Gue” (BCG) itu film humor. Tetapi komentar ulama atas filem ini pasti bukan bermaksud melucu di situ juga tidak ada unsur humor.
Kalau filem itu ibarat pisau yang bisa di salah gunakan, apakah ada penyalah gunaan seperti itu sehingga BCG menuai masalah? Kalau essensinya masalah ciumah, kenapa kembali dipermasalahkan, bukankah saat ini adegan ciuman itu mudah sekali dijumpai di mana saja kapan saja di negeri tercinta Indonesia?. Tidak perlu di klab malam atau cakram rekaman yang digelar di kaki lima... tetapi di koran atau tabloid seharga tidak lebih dari sebotol air mineral atau live di taman wisata umum tempat keluarga bercengkerama. Bahkan tidak perlu ke gedung bioskop atau tempat hiburan khusus, di ruang keluarga melalui tv atau multimedia, adegan yang menjurus atau nyata berisi perzinahan, bisa hadir bebas dan menjadi menu tontonan dan hiburan keluarga mulai dewasa sampai anak balita.
Ketika ulama berada di simpang jalan, akibat ketidak mampuan menjawab pemasalahan ummat, akibat tidak bisa menjadi panutan, fatwanya membingungkan dan bertentangan dengan aspirasi umat, akhirnya legitimasi yang tidak lagu diakui, kredibilitas diragukan, maka setiap mengangkat isu, lalu disebut mengada-ada dan kurang tanggap karena toh banyak masalah lain lebih prioritas, bahkan dicurigai bermain demi keuntungan pribadi. Sementara di luar pergeseran-pergeseran nilai terjadi dengan hebatnya.
Nilai tindakan atau ucapan tergantung dari motivasi, karena motivasi mendasari sebuah niat yang bisa bergerak di daerah “mulia” sampai “jahat”. Namun sayangnya, membaca sebuah motivasi tidaklah gampang. Apalagi dunia ini tidak hanya terdiri dari unsur “hitam” dan “putih” saja, ada banyak grey area yang dengan cepat bisa berubah menjadi warna-warni sesuai dengan kondisi-kondisi dan kepentingan-kepentingan. Motivasi ulama tertentu saja bisa dibaca salah atau disalah artikan apalagi motivasi penentangnya yang tidak jelas orangnya.
Mengherankan sekali, ternyata filem BCG sudah memperoleh cap lolos sensor dari lembaga resmi. Artinya dari aspek legal formal dan prosedural filem itu telah memenuhi syarat. Kalau masih menuai sentilan dan hujatan dari sebagian masyarakat, jelas ada sesuatu yang tidak beres. Secara legal formal dianggap benar, tidak selalu secara material juga benar. Misalnya punya SIM (lewat calo), secara legal formal sudah sah untuk menjalankan mobil di jalan raya, tetapi apakah ia benar-benar bisa mengemudikan kendaraan bermotor atau mampu membedakan antara gas dan rem itu mah soal lain. Belanja proyek sesuai nilai yang tertulis di kuitansi itu sah, tetapi apakah nilai kuitansi itu wajar sesuai standar... itu perlu deklarasi lebih lanjut.
Jadi mungkin saja dalam sistem perijinan dan sensor filem BCG itu ada penyimpangan. Seperti biasa banyak anomali dan keanehan di negeri ini, lha wong orang buta saja bisa punya SIM asal bisa mbayar kok (tapi itu kurang kerjaan!).
So... kalau begitu kontroversi BCG merupakan puncak gunung es dari masalah yang lebih kompleks. Mulai masalah peran ulama, interprestasi dan revitalisasi ajaran agama, pergeseran nilai di masyarakat, peran masyarakat umum dalam memahami realitas, berempati dan bertanggung jawab secara benar serta mekanisme kontrol sosial di masyarakat maupun kelembagaan birokrasi... weeehhh pussiiing.
Memang BCG telah distop peredarannya, tetapi masih menyisakan masalah dan tidak ada rumusan jalan keluar secara jelas yang akan jadi yurisprudensi masalah serupa di masa yang akan datang. Maka tidaklah aneh, masalah beginian telah berulang kali terjadi dan tidak lama lagi akan terjadi lagi. Sedih kalau tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Keledai tidak akan pernah terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali, tetapi itu baru konon katanya, katanya, katanya Trio Kwek-Kwek.... Ah, manusia bukan keledai dan lubang yang kemarin ada pun telah ditambal sementara, tapi siapa tahu lubang itu akan kembali menganga lebih cepat dari yang disangka...

Senin, 02 Agustus 2004

Kekerasan di sekitar kita

Saya nggak kenal Amanda... tetapi berita kematiannya cukup menyentak juga. Padahal semula ketika ada e-mail mampir di mail box, ada keluarga minta bantuan kehilangan anaknya kuanggap biasa saja, ah paling-paling anak balita yang hilang karena keteledoran orang tua yang tidak bisa mengawasi anaknya dengan baik. Ternyata ia bukan anak lagi, ia dewasa... apakah ia mengalami keterbelakangan mental? Tidak mungkin, karena dia seorang mahasiswi.. ah paling-paling si "anak" itu melarikan diri atau dilarikan orang terdekatnya.... Kalau begini, sudah sedemikian tumpulkah kepekaan dan rasa empati ini?

Ternyata berita selanjutnya menyentak. Ia mati dibunuh orang terdekatnya dengan membawa aib diri maupun keluarganya. Kini aku bisa membayangkan kesedihan keluarganya. Ketika anak dambaan, segala keperluannya dipenuhi dan sebentar lagi lulus dari sebuah perguruan tinggi bergengsi tiba-tiba harus mengalami peristiwa mengenaskan sekaligus mencoreng muka.
Ah, ternyata ancaman itu bukan dari mana-mana tetapi dari sekitar kita juga. Lalu apakah kita perlu mencurigai siapa saja yang ada di sekitar kita. Apakah kita harus paranoid supaya selamat dari bahaya seorang paranoid yang ada di sekitar kita?
Jangan-jangan ada Amanda-Amanda lain di sekitar kita?

Senin, 26 Juli 2004

Sebuah Permulaan

Ketika aku memulai sesuatu...
Yang aku belum pernah kulakukan sebelumnya.
Gamang terasa.
Darimana dan bagaimana aku memulai?
Apakah ini permulaan yang membawa keberhasilan.
Ataukah hanya akan menjadikuburan ide yang terbengkalai...
Aku tak peduli..
Yang penting mulai...
Kalau bukan kini,kapan lagi.