Selasa, 19 Oktober 2004

Puasa kok minta dihormati…

Puasa itu ibadah khusus, kalau amalan lain itu diperuntukkan bagi yang melaksanakan tetapi amalan puasa khusus untuk Allah semata (Hadist Qudsi). Memang puasa itu istimewa karena hanya diwajibkan khusus kepada orang yang beriman (QS 2:183), jadi kalau nggak beriman ya nggak wajib puasa. Sedangkan tujuan puasa adalah supaya orang yang beriman itu menjadi orang bertaqwa.
Puasa adalah fitrah, karena fenomena “puasa” bisa ditemui di banyak kehidupan flora dan fauna di alam dan menjadi ajaran di beberapa agama atau budaya meskipun dalam bentuk bervariasi.
Namun berpuasa itu tidak gampang, nyatanya betapa banyak yang berpuasa tetapi memperoleh apa-apa kecuali lapar dan dahaga (Hadist). Apalagi manusia suka menjebakkan diri ke dalam ritus-ritus atau simbol-simbol ketimbang memahami hakekat dan jiwa dari ibadah termasuk puasa.
Puasa yang antara lain merupakan “bulan latihan untuk menahan diri” dan belajar ber-empati tentang kehidupan fakir miskin ternyata malah menjadi “bulan konsumtif” besar-besaran. Bagaimana tidak, menu makanan saja di bulan ini meningkat tajam dan tidak realistis dibandingkan bulan lain. Ritus-ritus seperti buka bersama atau extra menu di rumah tangga sering menghasilkan banyak kemubaziran. Memang nafsu menggebu itu terjadi di siang hari ketika tengah menderita karena puasa, padahal akan langsung padam hanya ketika bibir basah dengan beberapa tetes air bila bedug magrib tiba.
Salah satu dari beberapa kekeliruan Umat Islam di bulan puasa sebagaimana disitir oleh Yusuf Qardawi adalah dijadikannya puasa sebagai alasan untuk bermalas-malasan dan excuse untuk tidak berprestasi. Padahal banyak prestasi gemilang yang diukir Nabi di bulan Ramadan, bahkan kemerdekaan Indonesia juga terjadi di bulan Ramadhan. Di bulan puasa konsumtif ini, banyak orang berlomba-lomba untuk mengaji Al Quran, tetapi tujuannya hanya mengejar pahala seperti sopir angkot mengejar setoran. Memang upaya seperti tidak sepenuhnya salah, tetapi bukankah tujuan “mengaji” itu mempelajari kitab suci kemudian menghidupkannya dalam jiwa untuk menjalankan aktivitas sehari-hari bukan masalah mengejar setoran…
Karena sikap para shoimin juga maka puasa menjadi event konsumtip. Betapa banyak pasar swalayan atau pusat perbelanjaan yang memperoleh pendapatan di atas 30% dari omset setahun hanya dari beberapa hari menjelang hari raya. Media TV menyajikan acara yang katanya “islami” walapun dengan definisi yang masih menyisakan pertanyaan. Apakah musik gambus dan nasyid itu lebih Islami ketimbang musik jazz atau Gregorian? Kenapa tiba-tiba para bintang komedi seperti Komeng, Bagito, Patrio, Kiwil, Basuki, Doyok, Tessy tiba-tiba lebih popular ketimbang ustad atau kyai. Kenapa tiba-tiba Sarah Azhari, Peggy, artis AFI dan KDI menjadi santri dan berbusana lebih rapi tidak lagi menggoda iman lelaki. Lagi-lagi semuanya bukan untuk meningkatkan keimanan tetapi hanya menggiring untuk meningkatkan konsumsi.
Yang lebih membuat geli, ungkapan “hormatilah orang berpuasa”. Gimana nggak geli, wong puasa kok minta dihormati? Bukankah puasa itu hanya untuk Allah bukan untuk tetangga, teman sejawat atau masyarakat lain apalagi yang memang nggak wajib berpuasa. Wong kepingin dihormati kok minta dan setengah maksa. Padahal ibadah demi dihormati orang lain itu riya’ alias pamer “Nih gua puasa… hormatin kita dooong”. Kalau puasa hanya ingin dipuji jelas nantinya “tidak memperoleh apa-apa kecuali lapar dan dahaga”.
Udah dibilang puasa itu hanya untuk yang beriman. Padahal kalau bener-bener beriman, orang itu nggak bakal suka keluyuran ke tempat hiburan malam atau tempat maksiat dan atau yang menjurus maksiat. Jadi ada dan tidaknya tempat gituan mestinya nggak ngaruh bagi orang beriman yang diwajibkan puasa itu. Jadi lucu juga ada hiburan malam yang ditutup hanya karena bulan puasa atau diwaktu orang-orang berimannya lagi puasa. Kalau mau nutup ya sekalian ditutup selamanya.. bukan pada waktu puasa saja… Apalagi penutupan restoran, jelas makin nggak beralasan karena yang nggak puasa (baik yang karena yang nggak wajib atau karena “halangan” yang dibenarkan) kan masih perlu sarapan, makan siang atau ngemil. Kalau ada aturan, sebaiknya aturan untuk membatasi perkara yang menimbulkan kerugian orang banyak bukan aturan untuk mewajibkan untuk melakukan sesuatu.
Puasa itu kan “bulan latihan” oleh karena itu setelah lebaran, bukan berarti semangat puasanya “lebar” atau “bubar”. Seperti “sujud yang membekas” itu bukan berarti kapalan di jidad karena sering sujud, tetapi jiwa sujud yang membekas dalam kehidupan sehari-hari. Kalau bulan puasa nggak ke tempat maksiat, seharusnya di bulan yang lain-pun begitu.