Kamis 30 Juni 2005, siang hari stasiun televisi METROTV menyiarkan filem dokumenter tentang kecelakaan kereta api di Indonesia. Tragedi kereta api terbesar yang tercatat di sini adalah tabrakan KA255 dan KA220 di dekat stasiun Sudimara, Bintaro yang terjadi tanggal 19 Oktober 1987. Peristiwa itu terjadi persis pada jam sibuk orang berangkat kantor, sehingga jumlah korban juga besar sangat besar yakni 153 orang tewas dan 300 orang luka-luka. Tabrakan itu juga melambungkan nama Juned, seorang bocah lelaki berumur 8 tahun yang selamat dari tragedi itu. Ia harus kehilangan nenek yang menjadi satu-satunya gantungan hidupnya, di samping nenek ia juga kehilangan adik satu-satunya dan sebelah kakinya. Berkah dari tragedi yang tidak pernah diharapkankan, bocah Juned yang semula bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa tiba-tiba wajahnya menghiasi seluruh media massa sehingga menjadi terkenal di mana-mana. Kemudian bapak dan emaknya yang semula cerai, sepakat untuk rujuk kembali membesarkan Juned dalam sebuah keluarga yang utuh. Kemudian ketika tragedi itu dikomersialkan ke layar lebar, Juned juga menikmati sejumlah uang.
Namun keterkenalan maupun sedikit uang yang dinikmati itu, ternyata tidak pernah berhasil mengubah nasibnya. Beberapa tahun kemudian uang yang diperolehnya ludes karena usaha ayahnya yang bangkrut. Juned juga ternyata tidak berumur panjang, tahun 2002 lalu masih dalah keadaan serba berkekurangan dalam usia yang masih sangat muda (22 tahun), Juned dipanggil sang Khalik untuk menyusul nenek dan adiknya. Akhirnya kisah Juned-pun tenggelam, bahkan di tayangan MetroTV siang itu juga tidak terungkap.
Masih dari tragedi Bintaro, ada kisah sedih yang dialami Slamet Suradio. Ia adalah masinis KRL255 yang selamat, namun ia harus menanggung nasib buruk yakni dipecat dari pekerjaannya, maka ia memilih pulang ke kampung halamannya menjadi petani di Purworejo sana. Kini ia menapaki masa senjanya dibalut kemiskinan dan menanti seberkas sinar terang untuk memperoleh pengakuan atas jerih payah pengabdian selama lebih 20 tahun di atas roda besi. Nasib yang serupa juga menimpa seorang mantan pengatur sinyal kereta api (Umriadi?), yang juga dinyatakan bersalah dan kini menapaki masa tua juga dengan penuh penantian. Meskipun setelah melalui banding, ia sudah diputus tidak bersalah , namun hingga kini hanya bisa menunggu datangnya mukjizat untuk memperoleh pengakuan atas pengabdiannya selama lebih dari dua puluh tahun. Badan ringkih itu kini acapkali nampak ada di stasiun Rangkas Bitung, sekedar untuk nostalgia dan tentu saja memperoleh belas kasihan kolega yang juga sama-sama pantas dikasihani.
Rupanya tragedi Bintaro belum cukup, sehingga pada penghujung tahun 2001 lalu terjadi dua kecelakaan kereta api Empu Jaya yang terjadi hanya berselang 3 bulan. Tanggal 2 September 2001 tabrakan KA Empu Jaya dengan KA Cirebon Ekspres dan tanggal 25 Desember 2001 tabrakan KA Empu Jaya dengan Gaya Baru Malam. Mohammad To'ad (masinis Empu Jaya yang bertabarakan dengan KA Gaya Baru) dianggap tidak mengindahkan sinyal maka ia harus dipecat. Sementara Suwanto (masinis KA Empu Jaya yang bertabrakan denga KA Cirebon Ekspres), meskipun menurut visum dokter ada indikasi pada waktu kejadian mengalami serangan jantung, tetapi sudah dicap bersalah, mantan masinis teladan inipun harus dipecat. Apakah mereka itu memang benar-benar bersalah atau hanya kambing hitam?
Berderet tragedi telah diukir oleh perjalanan kereta api di atas rel-nya tetapi maaf bangsa ini cepat menjadi lupa saking banyaknya tragedi, bencana dan teror yang harus diingat. Kereta api memang berjalan pada jalurnya tersendiri yang dilindungi undang-undang, tetapi apakah ia alu tidak bisa dipersalahkan karena nyatanya ia juga tidak mampu melindungi dirinya sendiri. Apakah kereta api yang dianggap sebagai kendaraan paling aman itu, di tangan bangsa carut marut ini akan berubah menjadi mesin pembunuh? Akankah ini akan menjadi pelajaran atau akan segera dilupakan, karena toh di Amagasaki Jepang-pun kecelakaan juga terjadi (25 April 2005)…
Baru saja acara dokumenter itu usai…ada berita, baru saja sebuah panther ditabrak kereta Sancaka di Teguhan Madiun.. entah suatu kebetulan atau tidak... disusul dengan tabrakan antara KRL585 dan KRL583 di Pasar Minggu. Kalau dibanding tragedi Bintaro limabelas tahun lalu atau tragedi Empu Jaya tiga tahun lalu memang bukan apa-apanya, namun dua-tiga nyawa juga pastilah sangat berarti bagi keluarga dekat yang ditinggalkannya. Pasti tabrakan itu juga akan disusul dengan kisah pilu para korban, keluarga maupun para pelaksana di lapangan. Tragedi Bintaro melambungkan Juned, Slamet Suradio atau pengatur perjalanan kereta api namun yang pasti tidak banyak berpengaruh terhadap Rusmin Nuryadin (Menhub ketika itu). Tabrakan di pasar Minggu ini juga hanya akan membawa kisah pilu tentang Bunga, Ade Darmawan, Steven atau lainnya.
Maka kita hanya terharu mendengar kata-kata Iwan Fals dalam lagu "Kereta 1910":
Apakabar kereta yang terkapar di senin pagi
Di gerbongmu ratusan orang yang mati
Hancurkan mimpi bawa kisah
Air mata, air mata
Belum usai peluit belum habis putaran roda
Aku dengar jerit dari Bintaro
Satu lagi catatan sejarah
Air mata, air mata
Berdarahkah tuan yang duduk di belakang meja
Atau cukup hanya ucapkan belasungkawa aku bosan
Lalu terangkat semua beban di pundak
Semudah itukah luka-luka terobati
Nusantara tangismu terdengar lagi
Nusantara derita bila terhenti
Bilakah bilakah
Sembilan belas oktober tanah Jakarta berwarna merah
Meninggalkan tanya yang tak terjawab
Bangkai kereta lemparkan amarah
Air mata air mata
Nusantara langitmu saksi kelabu
Nusantara terdengar lagi tangismu
Nusantara kau simpan kisah kereta
Nusantara kabarkan marah sang duka
Saudaraku pergilah dengan tenang
Sebab luka sudah tak lagi panjang