Senin, 03 Januari 2005

Di balik tsunami

Saat ini, di kantor, warung, gardu ronda, jalan, angkutan dan tempat umum berulang orang menyebut kata tsunami. Istilah itu impor, tetapi tsunami dengan korban terbesar terjadi di negeri ini. Dibandingkan bencana besar sebelumnya seperti gempa bumi Bam Iran tahun 2003 lalu dengan korban 26.271 jiwa gempa tsunami Aceh lebih banyak menelan korban. Dibandingkan sesama bencana tsunami besar seperti di Selat Sunda ketika Krakatau meletus tahun 1883 dengan korban 30.000 jiwa, maupun tsunami Jepang tahun 1896 dengan 27,000 jiwa, tsunami Aceh jauh lebih besar jumlah korbannya. Karenanya tsunami Aceh bisa disebut terdahsyat yang tercatat dalam sejarah dalam hal jumlah korban yakni lebih dari 150.000 jiwa.
Akibat tsunami di akhir tahun 2004 lalu sebagian NAD dan Nias porak poranda, puluhan ribu nyawa dikubur tanpa identitas yang jelas. Sekurang-kurangnya satu di antara empat penduduk pantai utara dan barat propinsi NAD tewas terseret tsunami. Bahkan lebih separoh penduduk Meulaboh, Lok Nga dan beberapa kota kecil di dekat situ tidak diketahui nasibnya. Dengan kondisi seperti itu, kalaupun ada keluarga, sahabat atau kenalan yang tinggal di daerah bencana, kalaupun masih selamat pastilah ada keluarganya yang ikut tewas. Sungguh sangat mengenaskan... bencana yang berlangsung hanya sekitar empat menit telah menyebabkan ribuan orang menjadi sebatang kara, ribuan anak tiba-tiba menjadi yatim piatu, bahkan tidak kurang yang tewas sekeluarga sehingga punahlah garis keturunannya.
Bencana sudah terjadi, jarum jam tidak bisa diputar balik, yang sudah terjadi tidak bisa di "undo" seperti program Window.. yang diperlukan kini adalah menatap dan menata masa depan. Kejadian lalu dijadikan acuan dalam menatap masa depan. Tetapi adakah hikmah tersembunyi yang bisa diambil dari bencana mengerikan itu? Mungkin tidak banyak dan dianggap mencari-cari, tetapi sesungguhnya sangat penting dalam menatap masa depan Aceh dan negeri ini.
Kini setelah NAD luluh lantak, mata kita baru terbelalak... bahwa bencana besar sedang mengintai. Betapa, nusantara yang indah bak rangkaian ratna mutu manikam ini ternyata menyimpan energi perusak yang luar biasa. Pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, pesisir Nusatenggara, Sulawesi, Maluku, dan banyak daerah lain ternyata rawan bencana. Tetapi apakah kenyataan itu membangkitkan kesadaran tentang perlunya mitigasi terhadap bencana, masih menjadi tanda tanya. Adakah setelah ini akan dimulai penataan lingkungan pantai, bangunan tidak didirikan persis di bibir pantai karena di situ perlu ditanami nyiur melambai atau cemara laut yang berguna menjadi pemecah ombak bila air laut meluap?
Memang banyak yang kemudian menjadi kawatir akan terjadi bencana, tetapi belum tentu cukup untuk membangkitkan kesadaran tentang perlunya persiapan diri dalam menghadapi bencana, baik dalam mengantisipasi sebelum terjadi, langkah penyelamatan dikala terjadi maupun recovery paska terjadinya bencana. Entahlah, apakah setelah ini akan ada program pelatihan bencana gempa maupun tsunami di sekolah, instansi ataupun masyarakat luas. Seandainya ada apakah itu akan menjadi tradisi yang berlangsung lama ataukah hanya sekedar menjadi seremoni yang hangat-hangat tahi ayam.
Apakah setelah ini akan dibangun mekanisme peringatan dini, termasuk sosialisasi tentang hasil kajian ilmiah maupun tanda-tanda alam yang menunjukkan akan datangnya bencana. Dari berita terekam bahwa fenomena air laut yang menyusut drastis setelah gempa yang berdasarkan pengalaman justru merupakan pertanda akan datangnya bahaya lebih besar, justru menarik perhatian orang untuk berbondong-bondong mendekati pantai. Kasus P Simeuleu yang paling dekat dengan episentrum, tetapi ternyata jumlah korban "hanya" 4 orang bisa menjadi bahan pelajaran berharga. Memang upaya manusia bukan untuk menghentikan bencana, tetapi hanya sebatas mengurangi terjadinya kerugian akibat bencana.
Bencana Aceh juga menegaskan, bahwa di tengah arus globalisasi dan modernisasi, masih banyak orang yang punya nurani. Masih banyak orang yang mau membantu mengorbankan tenaga dan harta benda minimal doa tanpa mengharap balasan apapun juga. Seluruh anak bangsa turut membantu, termasuk yang baru saja tertimpa bencana serupa seperti Papua. Seluruh dunia juga ikut bergerak, negara adikuasa yang biasanya bertingkah menyebalkan dan arogan ternyata juga mau mengulurkan tangan untuk memberi bantuan. Kalaupun pada kenyataannya nilai bantuan itu tidak seberapa dibandingkan bom dan mesiu yang mereka gunakan untuk menghacurkan Irak dan Afganistan, itu tidak menjadi alasan untuk menampik atau tidak menghargai bantuan mereka. Di sini bicara tentang manusia dan kemanusiaan tanpa memperhatikan politik, ideologi, agama dan keyakinan, ras, suku, kelompok, status sosial atau sekat-sekat lainnya.
Kebetulan Aceh yang selama ini bergejolak.... setelah tertimpa bencana ternyata mendapat perhatian dari segala penjuru, mendapat uluran tangan dari siapa saja. Kalau Pemerintah dan bangsa Indonesia serius membantu rakyat Aceh, maka isu separatisme tidak akan laku lagi di mata rakyat. Kemana engkau GAM? Keluarlah dari sarangmu, singsingkan lengan bajumu untuk ikut serta kita meringankan derita saudaramu yang juga saudara kita... Kini bukan saatnya bertikai, kini saatnya bersama-sama berbuat agar rakyat Aceh kembali seperti sediakala bahkan ditinggikan derajadnya.
Dari sisi spiritual, bencana Aceh juga mengajarkan tentang keterbatasan manusia dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Ternyata manusia memang tidak bisa lepas dari manusia lain maupun kekuatan di luar dirinya sendiri seperti alam, lingkungan, dan juga dengan sang Khaliq. Dalam kontemplasi boleh mempertanyakan kepadaNya, apakah musibah ini merupakan hukuman, peringatan atau ujian.