Kamis, 28 April 2005

Kang Rusik

Sejak pertama mengenal kang Rusik seperti tidak ada perubahan pada dirinya. Umurnya seperti tidak pernah bertambah, tubuh dan perawakannya seperti tidak pernah berubah. Memang kang Rusik sangat mudah dikenal, bahkan bagi yang baru pertama kali bertemu. Bukan lantaran tubuh kang Rusik gagah seperti Doni Kesuma, ganteng seperti Primus ataupun berkumis tebal seperti Andi Mallarangeng, namun kang Rusik dikenali karena bentuk fisiknya yang merupakan parodi selebritis.. Tubuhnya bogel, hanya kalah bersaing dengan Ucok Baba, rambutnya ikal keriting seperti N!xau tuh orang Afrifa yang jadi bintang “The God must be crazy”. Kepalanya relatif besar dibandingkan tubuh keseluruhan dan wajah yang “menakutkan” terutama bagi yang belum kenal, dahi menonjol, hidung pesek serta, rongga mulut yang maaf... dipenuhi gigi acak-acakan sehingga bibirnya yang sumbing makin tidak mampu menutupinya dengan baik. Suaranyapun sengau lebih parah dibanding Komeng Cihuuuiii, sehingga untuk bisa mengenali apa yang diucapkan bibir sumbungnya perlu latihan khusus. Memang orang bisa saja menilai, tidak ada kesempurnaan pada diri kang Rusik.
Sejak aku pertama kenal dia adalah sebagai gembala domba, bahkan ketika terakhir aku melihatnya ia juga sedang sedang angon wedus dombanya. Memang kang Rusik adalah identik dengan angon wedus, jarang kami menemui kang Rusik melakukan aktivitas lain seperti sekolah atau melakukan pekerjaan lain, kecuali seminggu sekali ia sedang Jumatan di masjid desa.
Domba-domba yang digembalakan kang Rusik adalah punya orang yang dititpkan kepadanya. Ia memperoleh bagi hasil kalau domba itu beranak. Domba-domba itu sudah merupakan sebagian dari kehidupannya yang sebatang kara.
Bagi kang Rusik hidup dimulai ketika bangun pagi, langsung membuka kandang domba yang menjadi satu dengan rumahnya, kemudian mengamati hewan piaraannya. Apakah jumlahnya masih seperti kemarin, apakah ada yang sakit atau ada mengalami gejala aneh lainnya. Ditungguinya sampai embun mengering baru ia mengeluarkan gembalaannya, karena embun di rumput akan membuat moncong alias congor domba-dombanya “bengooren” terkena infeksi.
Setelah itu ia lalu menggiring domba melalui jalan desa berdebu. Bunyi kaki-kaki domba seperti irama perkusi yang merdu. Kadang sambil berjalan dombanya memuntahkan butiran-butiran hitam kecil yang terserak di atas pasir jalanan desa. Kemudian ia ke padang penggembalaan. Di lereng-lereng jalan inspeksi dan kanal dombanya merumput, lalu kang Rusik asik menganyam bunga rumput sambil sesekali menengok dombanya. Setiap dombanya berlari menjauh atau mencoba memagut tanaman tetangga kang Rusik berteriak menghalaunya.
Sore hari tiba ia menggiring-domba-domba itu untuk pulang ke rumah tinggalnya yang juga merangkap kandang dombanya..
Aku terkejut bercampur bangga... ketika tahu bahwa kang Rusik mengenaliku karena ia memanggil namaku.. melambung rasanya seperti dikenal oleh seorang selebriti yang biasa tampil di media. Memang Kang Rusik dengan kesehariannya sudah seperti seorang selebriti di dusun ini. Walaupun penuh dengan segala kekurangannya, tidak pernah ada orang yang menghina, menjahilinya apalagi berniat mencelakai dia. Semua orang respek kepadanya, sebab meski kang Rusik memiliki kekurangan di bentuk fisiknya tidak pernah sekalipun ia merasa terganggu tidak pernah sekalipun ia merasa risau. Iapun tidak pernah mengharu biru kepentingan orang lain. Kang Rusik menapaki hidup ini apa adanya, ia lugu sehingga seperti tidak ada yang disembunyikan dalam kehidupannya. Bahkan sepertinya kang Rusik tidak pernah punya cita-cita atau minimal tidak pernah nampak untuk mencoba untuk meraihnya. Kitapun tidak pernah tahu apakah ia merasa bahagia.....