Kamis, 08 Februari 2007

Kuasa Tuhan, alam dan usaha manusia

Pagi-pagi ustad Mukidin sudah ceramah tentang bencana yang sepertinya tiada henti-hentinya melanda bangsa ini.
"Hukum alam atau bahasa agamanya sunatulloh itu berlaku kaya iklan Coca Cola ‘di mana aja kapan aja untuk siapa aja’. contohnya air di dalam gelas ini, sekarang berujud cair, kalau didinginkan akan beku, kalau dipanaskan akan jadi uap. Di kutub, katulistiwa, puncak gunung, pinggir pantai, ditangan orang Arab, Cina, Eropa, India, Jawa, Sunda, Batak, Madura, dipegang orang Islam, Suni, Syiah, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Dharmo Gandhul - Gatholoco atau kapir sekalipun ‘sami mawon’, segelas air kalo didinginkan sampai di bawah nol derajad akan beku jadi es batu, es batu dipanaskan jadi cair, kalau digodog terus sampai pada suhu 100 derajat akan mendidih jadi uap" gak peduli yang pegang siapapun kapanpun dan dimanapun.
"Nambahi sithik pak lik.. seperti itu lak kalau tekanan udaranya 1 atmosfir atau 760 mm air raksa ta.. kalau tekanannya beda ya sedikit beda ta pake", sergah si Entong Ade keponakan ustad Mukidin yang sekolah di SMP.
"Ini kan gampangannya omong aja to Tong", Ustad lalu melanjutkan dengan gaya persis presenter Tukul Arwana di TV, "Mari kita kembali ke… laptop….
Iya gara-gara kamu nih..aku jadi lupa sampai di mana tadi. Oh iya... tadi kalo contonya air, nah bagaimana kalo diganti minyak, besi, batu, lilin atau benda lain… yakin mboloqin haqqul yaqin pak solikin juru mesin… maka akan menghasilkan kesimpulan bahwa dimanapun, kapanpun oleh siapapun asalkan perlakuannya sama hasilnya ya sama. Itulah yang disebut orang hukum ‘keseragaman alam’.... artinya apapun dan siapapun kita, bagaimanapun cara kita menyebut, dimanapun dan kapanpun Dzat yang menanungi tetep sama. Lebih khusus lagi… apapun agamanya… Tuhan kita itu sebenernya dzat yang sama, soalnya kalau Tuhan kita beda, maka sifat benda ditangan kita juga akan beda tergantung Tuhan kita juga. Misalnya Tuhan A, berkehendak es dingin, Tuhan B berkehendak es sangat panas, dan Tuhan C bisa saja berkehendak anget-anget kuku…".
"Ust… kalau beneran Tuhan itu banyak lak berarti dunia ini malah jadi rusak, aturannya plating sladur kaya negarane dhewe ini", kata Tomejo.
"Leres… kang… karena semua alam gumelar ini dalam kuasa dzat yang tunggal, maka mobah-mosik apapun di dunia ini bisa terjadi atas kuasa dzat yang satu yang biasa disebut Tuhan dengan segala sebutannya itu, maka jadinya alam ini seragam... nggak kacau atau ruwet", ustad Mukidin semakin berapi-api kaya kompor minyak tanah habis ditambah pompaan.
Kadirun nimpali, "Kang Ustad... katanya di dunia ini ada pertarungan antara yang baik dan buruk. Yang baik itu katanya kuasa Tuhan yang buruk kuasa setan. Lalu ada lagi yang menyebut kekuatan alam, katanya sekarang ini banyak bencana, karena kehadiran seorang pemimpin di negeri ini tidak diterima oleh alam?"
Ustad meneruskan, "Emang bener Run… ada kuasa setan, tetapi setan juga hanya bisa berbuat setelah mendapat 'dipensasi' dari Yang Maha Kuasa juga, setan emang diberi ijin untuk mbujuk manusia yang mau ditipu untuk jadi 'bolosetan'. Alam emang punya kekuatan, tetapi pasti tunduk pada sunatulloh, jadi wala-wala kuawatoa ila billah, nggak ada daya dan kekuatan kecuali yang satu. kalau begitu.. bila di negeri ini ada sesorang terpilih jadi pemimpin itu kuasa siapa?.... pasti kuasa Tuhan. Terus.. bila pada suatu masa negeri sering terjadi bencana itu juga kuasa siapa?... pasti Tuhan juga khan.
Nah lho… dua-duanya ternyata kuasa Tuhan... mocok ce... Tuhan bertindak dengan kuasa menggerakkan alam untuk menimbulkan bencana adalah sebagai reaksi atas seseorang yang jadi pemimpin (yang terjadi juga akibat kuasaNya juga). Apa iya Tuhan tidak konsisten atau mencle-mencle begitu".
"Tapi kenapa sejak kita punya pemimpin yang sekarang… kok sering mengalami bencana, bahkan sepertinya nggak ada putus-putusnya? Apakah bencana dan musibah itu semua takdir gitu ya... pak Ustad", tanya mas Andri.
"Tepat mas… tapi perlu diperjelas dulu…. takdir itu apaan sih?", lanjut Ustad Mukidin, "Apakah anak yang malas belajar lalu ulangannya dapat nilai jelek itu juga takdir? Adakah seorang pemalas lalu mengalami kesulitan dalam hidupnya itu juga takdir, apakah orang yang numpak kendaraan byayakan lalu nabrak itu juga takdir? Pasti… manusia harus percaya takdir, tapi kan nggak boleh hanya tergantung takdir saja. Buktinya Tuhan juga tidak mau mengubah nasib kalau kita sendiri tidak berusaha mengubahnya.
Punya IQ tinggi, cerdas, ganteng, kuntet, bogel, dan sebagainya itu takdir. Lahir dari keluarga kaya itu takdir, jadi orang Jawa, Sunda, Betawi, Batak, Melayu, Madura, dll itu takdir. Tetapi seperti nilai ujian, sakit atau sehat, susah atau senang dalam hidup, bahkan juga mau masuk neraka atau surga itu juga banyak tergantung usaha masing-masing, nggak bisa diserahkan takdir begitu saja".
"Oh begitu ya pak ustad... lalu apa hubungannya antara takdir dan usaha itu?", tanya kang Tomejo sambil nyruput wedang kopinya.
Lanjut Ustad Mukidin:, "Barangkali kalau disederhanakan takdir itu diibaratkan sebagai sebuah botol atau gelas, masing-masing kita punya wadah atau gelas sendiri, emang ada yang besar ada yang kecil, ada yang mulutnya sempit tapi ada yang lebar, kita masing-masing diberi kebebasan untuk mengisinya dengan dengan apa dan bagaimana caranya. Bisa saja takdir itu digambarkan secara sederhana sebagai sebuah rumus atau program komputer. Memang masing-masing orang punya rumus atau program sendiri, ada simpel ada yang njlimet, tetapi masing-masing punya kewajiban untuk mengisi input variabel-variabelnya sedemikian agar mendapatkan hasil akhir atau outcome yang optimal.
Contohnya, jantung kita ditakdirkan punya kekuatan tertentu dan umur teknis sekian puluh tahun. Kalau kita sering mempergunakan melebihi batas kemampuan, misalnya sering marah-marah serta kurang memperhatikan cara perawatannya seperti makan sembrono dan jarang berolahraga, maka jantung kita itu akan cepat ‘mbrebet’ bahkan bisa rusak lebih cepat dari umur teknis yang telah ditentukan sebelumnya.
Contoh lain, kalau kita punya IQ pas-pasan, tapi rajin belajar dan mengasah otak, mungkin bisa lebih pinter atau minimal menyamai yang IQ-nya lebih tinggi... Tul nggak dulur-dulur...
Bagaimana sederek-sederek udah paham belum???
Lho piye ta iki… kok malah pada meneng wae… jangan-jangan malah pada turu kabeh?
Ya wis lah… nek mboseni, saya tutup aja pengajian kali ini. Kalau sekarang sampeyan setuju dengan saya... bahwa banyak bencana seperti saat ini bukan karena seseorang diangkat jadi pemimpin, maka jangan mempertanyakan layak tidaknya seorang pemimpin dari bencana yang beruntun ini. Menilai kinerja pemimpin itu harusnya ya dari kapabilitas dalam mengatasi masalah, kemampuan bertindak tegas melawan ketidak adilan, kemampuan mencegah kerusakan sehingga mampu menyelamatkan rakyat dari kehancuran, kemampuan untukmengajak rakyat lepas dari segala kesulitan, mampu untuk lebih meningkatkan kesejahteraan rakyat Bukan wacana tapi nyata, bukti bukan janji. Kalau parameter tadi hnggak memenuhi harapan kita boleh "menggugat"-nya .. lha wong dulu yang menjadikan dia sebagai pemimpin ya kita juga kok…
Lalu soal bencana … untuk bencana atau musibah yang disebabkan oleh kesalahan "mengisi variabel rumus" .. solusinya ya perlu diluruskan. Kalau bencana banjir terjadi karena salah menata lingkungan, maka kesalahan itulah yang harus dikoreksi. Namun seandainya emang rumus aslinya yang kurang menguntungkan, hanya satu cara yang bisa dilakukan, yakni mengajukan "amendemen' melalui do'a kehadapan sang Pembuat Rumus…..

Grubyak... loh... nggak tahunya ini tadi cuman ngimpi dan saya bangun kesiangan karena capek jaga banjir...