Senin, 23 Agustus 2004

Buruan Cium Gue

Cium merupakan salah satu cara pengungkapan kasih-sayang. Maka yang namanya nyium itu nggak perlu disuruh-suruh, apalagi dipaksa. Lalu bagaimana kalau cewek yang penyiar radio, demi gengsi karena dua tahun pacaran ternyata belum pernah ciuman sekalipun lalu "memaksa" pacarnya untuk segera menciumnya?. Lucu?.... ya, memang filem “Buruan Cinta Gue” (BCG) itu film humor. Tetapi komentar ulama atas filem ini pasti bukan bermaksud melucu di situ juga tidak ada unsur humor.
Kalau filem itu ibarat pisau yang bisa di salah gunakan, apakah ada penyalah gunaan seperti itu sehingga BCG menuai masalah? Kalau essensinya masalah ciumah, kenapa kembali dipermasalahkan, bukankah saat ini adegan ciuman itu mudah sekali dijumpai di mana saja kapan saja di negeri tercinta Indonesia?. Tidak perlu di klab malam atau cakram rekaman yang digelar di kaki lima... tetapi di koran atau tabloid seharga tidak lebih dari sebotol air mineral atau live di taman wisata umum tempat keluarga bercengkerama. Bahkan tidak perlu ke gedung bioskop atau tempat hiburan khusus, di ruang keluarga melalui tv atau multimedia, adegan yang menjurus atau nyata berisi perzinahan, bisa hadir bebas dan menjadi menu tontonan dan hiburan keluarga mulai dewasa sampai anak balita.
Ketika ulama berada di simpang jalan, akibat ketidak mampuan menjawab pemasalahan ummat, akibat tidak bisa menjadi panutan, fatwanya membingungkan dan bertentangan dengan aspirasi umat, akhirnya legitimasi yang tidak lagu diakui, kredibilitas diragukan, maka setiap mengangkat isu, lalu disebut mengada-ada dan kurang tanggap karena toh banyak masalah lain lebih prioritas, bahkan dicurigai bermain demi keuntungan pribadi. Sementara di luar pergeseran-pergeseran nilai terjadi dengan hebatnya.
Nilai tindakan atau ucapan tergantung dari motivasi, karena motivasi mendasari sebuah niat yang bisa bergerak di daerah “mulia” sampai “jahat”. Namun sayangnya, membaca sebuah motivasi tidaklah gampang. Apalagi dunia ini tidak hanya terdiri dari unsur “hitam” dan “putih” saja, ada banyak grey area yang dengan cepat bisa berubah menjadi warna-warni sesuai dengan kondisi-kondisi dan kepentingan-kepentingan. Motivasi ulama tertentu saja bisa dibaca salah atau disalah artikan apalagi motivasi penentangnya yang tidak jelas orangnya.
Mengherankan sekali, ternyata filem BCG sudah memperoleh cap lolos sensor dari lembaga resmi. Artinya dari aspek legal formal dan prosedural filem itu telah memenuhi syarat. Kalau masih menuai sentilan dan hujatan dari sebagian masyarakat, jelas ada sesuatu yang tidak beres. Secara legal formal dianggap benar, tidak selalu secara material juga benar. Misalnya punya SIM (lewat calo), secara legal formal sudah sah untuk menjalankan mobil di jalan raya, tetapi apakah ia benar-benar bisa mengemudikan kendaraan bermotor atau mampu membedakan antara gas dan rem itu mah soal lain. Belanja proyek sesuai nilai yang tertulis di kuitansi itu sah, tetapi apakah nilai kuitansi itu wajar sesuai standar... itu perlu deklarasi lebih lanjut.
Jadi mungkin saja dalam sistem perijinan dan sensor filem BCG itu ada penyimpangan. Seperti biasa banyak anomali dan keanehan di negeri ini, lha wong orang buta saja bisa punya SIM asal bisa mbayar kok (tapi itu kurang kerjaan!).
So... kalau begitu kontroversi BCG merupakan puncak gunung es dari masalah yang lebih kompleks. Mulai masalah peran ulama, interprestasi dan revitalisasi ajaran agama, pergeseran nilai di masyarakat, peran masyarakat umum dalam memahami realitas, berempati dan bertanggung jawab secara benar serta mekanisme kontrol sosial di masyarakat maupun kelembagaan birokrasi... weeehhh pussiiing.
Memang BCG telah distop peredarannya, tetapi masih menyisakan masalah dan tidak ada rumusan jalan keluar secara jelas yang akan jadi yurisprudensi masalah serupa di masa yang akan datang. Maka tidaklah aneh, masalah beginian telah berulang kali terjadi dan tidak lama lagi akan terjadi lagi. Sedih kalau tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Keledai tidak akan pernah terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali, tetapi itu baru konon katanya, katanya, katanya Trio Kwek-Kwek.... Ah, manusia bukan keledai dan lubang yang kemarin ada pun telah ditambal sementara, tapi siapa tahu lubang itu akan kembali menganga lebih cepat dari yang disangka...

Senin, 02 Agustus 2004

Kekerasan di sekitar kita

Saya nggak kenal Amanda... tetapi berita kematiannya cukup menyentak juga. Padahal semula ketika ada e-mail mampir di mail box, ada keluarga minta bantuan kehilangan anaknya kuanggap biasa saja, ah paling-paling anak balita yang hilang karena keteledoran orang tua yang tidak bisa mengawasi anaknya dengan baik. Ternyata ia bukan anak lagi, ia dewasa... apakah ia mengalami keterbelakangan mental? Tidak mungkin, karena dia seorang mahasiswi.. ah paling-paling si "anak" itu melarikan diri atau dilarikan orang terdekatnya.... Kalau begini, sudah sedemikian tumpulkah kepekaan dan rasa empati ini?

Ternyata berita selanjutnya menyentak. Ia mati dibunuh orang terdekatnya dengan membawa aib diri maupun keluarganya. Kini aku bisa membayangkan kesedihan keluarganya. Ketika anak dambaan, segala keperluannya dipenuhi dan sebentar lagi lulus dari sebuah perguruan tinggi bergengsi tiba-tiba harus mengalami peristiwa mengenaskan sekaligus mencoreng muka.
Ah, ternyata ancaman itu bukan dari mana-mana tetapi dari sekitar kita juga. Lalu apakah kita perlu mencurigai siapa saja yang ada di sekitar kita. Apakah kita harus paranoid supaya selamat dari bahaya seorang paranoid yang ada di sekitar kita?
Jangan-jangan ada Amanda-Amanda lain di sekitar kita?