Senin, 27 Desember 2004

Ketika alam menunjukkan keperkasaannya


serentetan musibah dan bencana silih berganti mendera..
ketika belum kering air mata...
ketika duka di hati belum reda...
tiba-tiba datang musibah dan bencana
dengan dahsyat menimpa...
.... cukup sudah rasanya
walaupun itu belum seberapa
dibanding keperkasaan sebenarnya..


apakah semua ini ini
kutukan akibat pengingkaran?
hukuman terhadap kesalahan?
peringatan terhadap penyimpangan?
ujian untuk mencapai kemuliaan
atau tidak ada arti apa-apa..





tapi bagaimanapun..
bencana demi bencana telah terjadi,
musibah dan musibah silih berganti,
tak bisa dihindari meski tidak satupun yang menghendaki
karenanya, hendaklah bisa jadi bahan penyadaran
terhadap nilai yang telah terlupakan,
bahwa manusia punya banyak kelemahan dan keterbatasan,
juga menumbuhkan kembali nilai-nilai kemanusiaan,
menyadarkan kembali terhadap arti tolong menolong dan sayang-
menyayang,

Rabu, 22 Desember 2004

Kesawan dan masa silam

Gerimis sore mendinginkan kota Medan, membawa kaki ini ke pecinan kawasan Kesawan. Di antara gedung-gedung tua kusam, yang dikala siang hiruk-pikuk dengan kegiatan bisnis tradisional, di malam harinya ada gemerlap lampu dan hingar-bingar karena menjadi tempat sekedar makan malam. Memang di antara deretan tenda-tenda berwarna warni yang digelar, agak sulit mencari yang halalan dan tayiban, tetapi menikmati suasana malam di tempat itu masihlah cukup menyenangkan.
Tertumbuk mata ke sebuah gedung tua ber-arsitektur Cina kurang terawat. Gedung tua bercat hiaju itu mengingatkan kita pada suasana di filem kungfu Shaolin. Itu adalah rumah Tjong Ah Fie, kata orang-orang situ.
Menelusuri, siapa itu Tjong Ah Fie tidaklah sulit, karena kisah kedekatannya dengan Sultan Deli bahka memiliki andil yang besar dalam pembangunan istana Maimoon maupun bangunan bersejarah lain di kota Medan.
Kota Medan yang kini kota terbesar ketiga di Indonesia, di masa lampau adalah kota perkebunan. Ah... langsung teringat kelahiranku –dan kebetulan namanya mirip Madiun— yang ternyata juga dibangun dari hasil pertanian. Kakek nenekku dulu berceritera tentang werk Deli, yang merekrut orang-orang kampung di Jawa untuk diperkerjakan di perkebunan tembakau di tanah Deli. Sebuah kisah yang menakutkan dengan ditambahi mitos “mobil cap gunting” yang menculik anak di bawah umur.
Saat ini jejak para buruh dari Jawa di tanah Deli masih terlihat, populasi keturunan mereka di daerah ini cukup besar. Bahkan di antara mereka pernah melambungkan daerah tersebut di dunia olahraga sepakbola.
Dari cerita kakek direkrut oleh werk Deli merupakan sebuah “bencana” dan penuh dengan kisah mengerikan, tetapi tanah Deli di masa lalu yang sebenarnya bukanlah sebuah kamp pembuangan. Terbukti di masa lalu cukup menarik orang luar untuk berbondong-bondong datang ke daerah ini terutama untuk bekerja di perkebunan tembakau. Tjong Ah Fie ternyata adalah salah satu figur yang berperan dalam pengerahan TKC (tenaga kerja cina) ke tanah Deli. Bahkan dari aktivitas inilah Tjong Ah Fie meraih sukses dan menjadi kaya raya.
Kini, kejayaan tembakau Deli hanya tinggal menjadi sejarah, memang ada keturunan buruh Cina yang jadi taipan di negeri ini, tetapi rumah Tjong Ah Fie nampak semakin kusam, karena generasi penerusnya tidak ada yang mampu lagi mempertahankan kerajaan bisnisnya. Nasib orang-orang Jawa keturunan buruh kasar-pun sebagian besar tidak jauh berbeda dengan nenek moyangya dahulu. Yang jelas berubah... dahulu, tenaga kerja asing berlomba ke tanah Deli untuk menggapai sukses, kini berbalik... orang Indonesia harus mengais rejeki untuk sekedar bertahan hidup ke negeri jiran menjadi buruh perkebunan, itupun harus dikejar serdadu karena dianggap sebagai pendatang haram....