Gus Muhtar ada keperluan ke Indramayu di bulan puasa ini. Sampai di daerah Patrol (deket api pengeboran minyak) itu sudah maghrib, setelah sholat di suatu masjid ia mampir ke sebuah warung di pinggir jalan.
Karena kurang info (habis gak nanya kangucup sih.. he,he,he, beliau tersesat ke warung remang-remang. Belaiu harus berhadapan dengan perempuan yang memberi "isyarat ngajak ke neraka". Masih cantik walaupun sudah tergolong kemampo untuk profesi seperti itu (paling tigapuluhan lebih dikit). Seperti biasanya, yang sudah tinggi jam terbangnya seperti Nokia seri 6010 gitu cara pendekatannya pasti lebih taktis, telaten dan sabar dibanding yang masih "bau kencur" alias seri N93.
Sebenernya beliau merasa risih, tapi dipikir kok tanggung, kalau cari warung lain belum tentu ada di sekitar situ, lagian ia hanya mau pesen semangkuk mie instant dengan sebotol teh gendul untuk mebatalkan puasa saja. Tetapi beliau kepingin tidak digoda lagi oleh perempuan itu. Maka beliau mempertegas "identitas dirinya", ketika akan makan diucapkannya keras-keras "Bismillahirraahmaanirrahiiim"
Eeee, si Ceuceu (=mbak) nggak sungkan malah ketawa sambil mendekati beliau, "Akang,... mangga kalau mau istirahat sebentar ngilangin yang pegel-pegel?"
Gus Muhtar agak kaget, rupanya setan sekarang beda sama setan dulu. Dulu sama tulisan "Umar Al Faruk" di pintu ajah udah takut, rupanya setelah Umar Faruk mati di penjara, nggak ada yang ditakutin oleh setan. Mungkin saja ini setan juga telah meningkatkan ilmunya, karena katanya semakin alim orang yang digoda, setan penggodanya juga harus semakin intelek..
"Ceu, ini bulan puasa lho, jangan ngajak saya ke neraka"
"Siapa yang ngajak ke neraka kang kan puasa ini pintu neraka ditutup, berarti yang masih bukak ya pintu surga doong".
"Ceu itu kan pintu surganya setan... pintu nerakanya Tuhan atuh!"
"Aih si akang, hari puasa gini ngomongin setan, kan setan lagi diborgol atuh kang"
"Setannya sih diborgol Ceu tapi sales eksekutifnya kan masih keliaran dimana-mana, lagian malaikat penjaga neraka juga belon ngajuin cuti tuh".
"Terus gimana ini kang kagak jadi doong???"
"Saya mau sholat dulu!"
"Ya sudah.. mangga kang kalau mau sholat dulu. nanti kalau udah selesai balik lagi ke sini ya kang!"
"Oke! Saya segera balik apabila mampu menghindar dari pengawasan Allah, bisa memperoleh tempat yang bukan ciptaan Allah dan tidak lagi tergantung dari rejeki pemberian Allah".
Gus Mukhtar ngeloyor pergi.
Untung Gus Muhtar masih mampu memborgol "setan kecil"-nya.
Jumat, 13 Oktober 2006
Neraka ditutup, setan diborgol
Senin, 09 Oktober 2006
Puasa: "Pengendalian Diri"
Di pengajian, banyak ustad yang mengutip Hadist Qudsi “Puasa itu untuk-Ku. Aku yang akan memberikan penilaian dan membalasnya". Kurang lebih maksud hadis tersebut, ibadah apa saja itu diperuntukkan kepada manusa yang menjalankannya, tetapi untuk puasa dikhususkan untuk Allah. Lalu apa sih istimewanya puasa itu kok ditentukan sedemikian khusus?
Sering juga denger ustad membahas istimewanya puasa, tetapi belum pernah ada penjelasan logis yang bisa memuaskan rasa penasaran saya. Di beberapa buku yang membahas puasa-pun belum pernah saya temukan keistimewaan puasa kecuali yang merujuk kepada Hadis Qudsi tersebut.
Dengan tidak njampangi kehandah Guati Allah, di sini mencoba ngajak “ijtihad” kecil-kecilan mencari istimewanya ibadah puasa. Dimulai dengan "kuwamani" melokalisir atau menyederhanakan permasalahan. Dengan tidak mengurangi apresiasi dan perhatian juga kepada yang lain, seluruh ibadah disederhanakan hanya yang tercakup dalam lima Rukun Islam. Maka permasalahan bisa langsung disederhanakan “Apa sih perbedaan antara Syahadat, Sholat, Zakat dan Haji dibandingkan dengan Puasa?”.
Sekarang dilihat satu persatu, dalam syahadat, kita diperintah untuk mengucapkan suatu pengakuan yang diendorse (dibenarkan) oleh hati, untuk sholat kita diperintah untuk melakukan gerakan dan ucapan tertentu, dalam zakat kita diperintah untuk mengeluarkan sebagian harta, dalam haji kita diperintah untuk pergi ke tanah suci untuk melakukan ritual tertentu. Lha kalau puasa kita diperintah app? Rasanya tidak ada perintah untuk melakukan atau mengucapkan perkataan tertentu, justru kita hanya “dilarang untuk melakukan sesuatu”.
Nah… itulah barangkali perbedaan "mendasar" antara puasa dibandingkan ibadah yang lain. Ibadah lain itu intinya adalah “aktivitas” khusus puasa intinya adalah “pengendalian diri”. Lalu kenapa sih “pengendalian diri” itu istimewajadi ?
Lha iya… memang mudah dibuktikan, apapapun kerusakan di alam dunia ini, baik itu tatanan masyarakat maupun lingkungan alam, sebagian besar akibat "manusia tidak bisa mengendalikan dirinya". Begini… contonya maksiyat itu bisa terjadi karena manusia “kebelet” atau “tidak bisa menahan diri” untuk tidak menikmati “kenikmatan” yang bukan atau yang belum menjadi haknya yang syah. Korupsi itu terjadi karena orang yang diberi amanah “tidak bisa menahan diri” untuk tidak menyalah gunakan harta atau fasilitas yang dipercayakan kepadanya. Maling, copet, jambret, itu terjadi karena ada yang tidak bisa menahan diri untuk tidak mengambil harta orang yang lengah. Rampok dan garong itu terjadi karena ada yang “tidak bisa menahan diri” untuk merampas harta orang yang tidak kuasa melawan. Kerusakan hutan, banjir, kebakaran hutan itu terjadi karena ada manusia serakah atau tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak membabat hutan seenaknya sendiri. Tawuran, penjarahan, bentrokan fisik, perang, teror itu terjadi karena ada orang atau sekelompok yang tidak bisa menahan diri untuk tidak memprovokasi atau menyerang orang lain.
Andai puasa diibaratkan sebuah training atau diklat ---dengan mengingat inti puasa adalah pengendalian diri--- maka para alumni yang baik adalah mereka yang telah dinyatakan lulus dalam "ujian pendendalian diri" dengan predikat apapun.
Nah... logikanya semakin banyak alumni puasa di masyarakat (karena puasa itu kan ada setiap tahun) maka seharusnya maksiyat, korupsi, rampok, garong, maling, copet, kerusakan alam, tawuran, teror, atau kerusakan lainnya di muka bumi ini akan semakin berkurang.
Kalau ternyata alumnus puasa semakin bertambah, tapi kok di masyarakat masih banyak maksiat, korupsi, rampok, garong, maling, copet, tawuran, teror, bentrokan, kerusakan alam, dll.. Berarti pantas kita mempertanyakan puasa macam apakah yang telah kita lakukan?. Jawabnya terserah anda...,.
Sering juga denger ustad membahas istimewanya puasa, tetapi belum pernah ada penjelasan logis yang bisa memuaskan rasa penasaran saya. Di beberapa buku yang membahas puasa-pun belum pernah saya temukan keistimewaan puasa kecuali yang merujuk kepada Hadis Qudsi tersebut.
Dengan tidak njampangi kehandah Guati Allah, di sini mencoba ngajak “ijtihad” kecil-kecilan mencari istimewanya ibadah puasa. Dimulai dengan "kuwamani" melokalisir atau menyederhanakan permasalahan. Dengan tidak mengurangi apresiasi dan perhatian juga kepada yang lain, seluruh ibadah disederhanakan hanya yang tercakup dalam lima Rukun Islam. Maka permasalahan bisa langsung disederhanakan “Apa sih perbedaan antara Syahadat, Sholat, Zakat dan Haji dibandingkan dengan Puasa?”.
Sekarang dilihat satu persatu, dalam syahadat, kita diperintah untuk mengucapkan suatu pengakuan yang diendorse (dibenarkan) oleh hati, untuk sholat kita diperintah untuk melakukan gerakan dan ucapan tertentu, dalam zakat kita diperintah untuk mengeluarkan sebagian harta, dalam haji kita diperintah untuk pergi ke tanah suci untuk melakukan ritual tertentu. Lha kalau puasa kita diperintah app? Rasanya tidak ada perintah untuk melakukan atau mengucapkan perkataan tertentu, justru kita hanya “dilarang untuk melakukan sesuatu”.
Nah… itulah barangkali perbedaan "mendasar" antara puasa dibandingkan ibadah yang lain. Ibadah lain itu intinya adalah “aktivitas” khusus puasa intinya adalah “pengendalian diri”. Lalu kenapa sih “pengendalian diri” itu istimewajadi ?
Lha iya… memang mudah dibuktikan, apapapun kerusakan di alam dunia ini, baik itu tatanan masyarakat maupun lingkungan alam, sebagian besar akibat "manusia tidak bisa mengendalikan dirinya". Begini… contonya maksiyat itu bisa terjadi karena manusia “kebelet” atau “tidak bisa menahan diri” untuk tidak menikmati “kenikmatan” yang bukan atau yang belum menjadi haknya yang syah. Korupsi itu terjadi karena orang yang diberi amanah “tidak bisa menahan diri” untuk tidak menyalah gunakan harta atau fasilitas yang dipercayakan kepadanya. Maling, copet, jambret, itu terjadi karena ada yang tidak bisa menahan diri untuk tidak mengambil harta orang yang lengah. Rampok dan garong itu terjadi karena ada yang “tidak bisa menahan diri” untuk merampas harta orang yang tidak kuasa melawan. Kerusakan hutan, banjir, kebakaran hutan itu terjadi karena ada manusia serakah atau tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak membabat hutan seenaknya sendiri. Tawuran, penjarahan, bentrokan fisik, perang, teror itu terjadi karena ada orang atau sekelompok yang tidak bisa menahan diri untuk tidak memprovokasi atau menyerang orang lain.
Andai puasa diibaratkan sebuah training atau diklat ---dengan mengingat inti puasa adalah pengendalian diri--- maka para alumni yang baik adalah mereka yang telah dinyatakan lulus dalam "ujian pendendalian diri" dengan predikat apapun.
Nah... logikanya semakin banyak alumni puasa di masyarakat (karena puasa itu kan ada setiap tahun) maka seharusnya maksiyat, korupsi, rampok, garong, maling, copet, kerusakan alam, tawuran, teror, atau kerusakan lainnya di muka bumi ini akan semakin berkurang.
Kalau ternyata alumnus puasa semakin bertambah, tapi kok di masyarakat masih banyak maksiat, korupsi, rampok, garong, maling, copet, tawuran, teror, bentrokan, kerusakan alam, dll.. Berarti pantas kita mempertanyakan puasa macam apakah yang telah kita lakukan?. Jawabnya terserah anda...,.
Langganan:
Postingan (Atom)