Senin, 09 Oktober 2006

Puasa: "Pengendalian Diri"

Di pengajian, banyak ustad yang mengutip Hadist Qudsi “Puasa itu untuk-Ku. Aku yang akan memberikan penilaian dan membalasnya". Kurang lebih maksud hadis tersebut, ibadah apa saja itu diperuntukkan kepada manusa yang menjalankannya, tetapi untuk puasa dikhususkan untuk Allah. Lalu apa sih istimewanya puasa itu kok ditentukan sedemikian khusus?
Sering juga denger ustad membahas istimewanya puasa, tetapi belum pernah ada penjelasan logis yang bisa memuaskan rasa penasaran saya. Di beberapa buku yang membahas puasa-pun belum pernah saya temukan keistimewaan puasa kecuali yang merujuk kepada Hadis Qudsi tersebut.
Dengan tidak njampangi kehandah Guati Allah, di sini mencoba ngajak “ijtihad” kecil-kecilan mencari istimewanya ibadah puasa. Dimulai dengan "kuwamani" melokalisir atau menyederhanakan permasalahan. Dengan tidak mengurangi apresiasi dan perhatian juga kepada yang lain, seluruh ibadah disederhanakan hanya yang tercakup dalam lima Rukun Islam. Maka permasalahan bisa langsung disederhanakan “Apa sih perbedaan antara Syahadat, Sholat, Zakat dan Haji dibandingkan dengan Puasa?”.
Sekarang dilihat satu persatu, dalam syahadat, kita diperintah untuk mengucapkan suatu pengakuan yang diendorse (dibenarkan) oleh hati, untuk sholat kita diperintah untuk melakukan gerakan dan ucapan tertentu, dalam zakat kita diperintah untuk mengeluarkan sebagian harta, dalam haji kita diperintah untuk pergi ke tanah suci untuk melakukan ritual tertentu. Lha kalau puasa kita diperintah app? Rasanya tidak ada perintah untuk melakukan atau mengucapkan perkataan tertentu, justru kita hanya “dilarang untuk melakukan sesuatu”.
Nah… itulah barangkali perbedaan "mendasar" antara puasa dibandingkan ibadah yang lain. Ibadah lain itu intinya adalah “aktivitas” khusus puasa intinya adalah “pengendalian diri”. Lalu kenapa sih “pengendalian diri” itu istimewajadi ?
Lha iya… memang mudah dibuktikan, apapapun kerusakan di alam dunia ini, baik itu tatanan masyarakat maupun lingkungan alam, sebagian besar akibat "manusia tidak bisa mengendalikan dirinya". Begini… contonya maksiyat itu bisa terjadi karena manusia “kebelet” atau “tidak bisa menahan diri” untuk tidak menikmati “kenikmatan” yang bukan atau yang belum menjadi haknya yang syah. Korupsi itu terjadi karena orang yang diberi amanah “tidak bisa menahan diri” untuk tidak menyalah gunakan harta atau fasilitas yang dipercayakan kepadanya. Maling, copet, jambret, itu terjadi karena ada yang tidak bisa menahan diri untuk tidak mengambil harta orang yang lengah. Rampok dan garong itu terjadi karena ada yang “tidak bisa menahan diri” untuk merampas harta orang yang tidak kuasa melawan. Kerusakan hutan, banjir, kebakaran hutan itu terjadi karena ada manusia serakah atau tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak membabat hutan seenaknya sendiri. Tawuran, penjarahan, bentrokan fisik, perang, teror itu terjadi karena ada orang atau sekelompok yang tidak bisa menahan diri untuk tidak memprovokasi atau menyerang orang lain.
Andai puasa diibaratkan sebuah training atau diklat ---dengan mengingat inti puasa adalah pengendalian diri--- maka para alumni yang baik adalah mereka yang telah dinyatakan lulus dalam "ujian pendendalian diri" dengan predikat apapun.
Nah... logikanya semakin banyak alumni puasa di masyarakat (karena puasa itu kan ada setiap tahun) maka seharusnya maksiyat, korupsi, rampok, garong, maling, copet, kerusakan alam, tawuran, teror, atau kerusakan lainnya di muka bumi ini akan semakin berkurang.
Kalau ternyata alumnus puasa semakin bertambah, tapi kok di masyarakat masih banyak maksiat, korupsi, rampok, garong, maling, copet, tawuran, teror, bentrokan, kerusakan alam, dll.. Berarti pantas kita mempertanyakan puasa macam apakah yang telah kita lakukan?. Jawabnya terserah anda...,.

Tidak ada komentar: