Jumat, 04 Agustus 2006

Setelah bencana, kita mau apa?

Bila suatu musibah berlalu, bukan berarti tidak akan ada lagi musibah yang akan datang menghampiri. Tengoklah kisah Nur (27 tahun) wanita asal Madura yang sangat mengharukan. Ketika gempa melanda Bantul (27/3) ia dan keluarganya berada di sana bahkan anak tertuanya Dede (12 tahun) menjadi salah satu di antara 6.500 korban yang meninggal. Kemudian ia sekeluarga memutuskan pindah ke kampung asal suaminya di Cikalong Tasikmalaya, dengan harapan bisa segera menghilangkan trauma yang pernah dialaminya. Memang ia sejenak bisa memperoleh ketenangan di Cikalong, tetapi siapa sangka pada tanggal 17/7 sore kampung asal suaminya itu-pun habis tersapu tsunami. Alhamdulillah Nur selamat dari musibah kedua yang dialaminya tersebut walaupun harus menderita luka-luka yang cukup parah. Aapun kini pasrah, tidak ada keinginan untuk pulang ke kampungnya di Madura, karena ia percaya kalau Allah menghendaki di mana saja bencana akan bisa menimpa sesorang.
Sungguh sebuah kisah yang sangat mengharukan dan mungkin hanya beberapa orang saja diabtara milyaran manusia di dunia ini yang pernah mengalami kisah serupa. Menjadi saksi hidup sebuah bencana saja berarti memperoleh pengalaman yang sangat berharga, apalagi ia sampai mengalami dua bencana hanya dalam selang waktu kurang dari empat bulan.
Sebuah bencana tidak pernah bisa dinilai dengan uang. Bayangkan untuk tsunami Aceh, gempa Jogja dan tsunami Pangandaran saja, harus ada ratusan ribu nyawa melayang, puluhan bahkan ratusan ribu bangunan luluh lantak, entah berapa nilai harta benda yang musnah, belum lagi biaya sosial karena kehilangan anggota keluarga, teman, kerabat, kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan, maupun biaya materi maupun non materi untuk membangun kembali masyarakat yang trauma paska bencana....
Oleh karena itu.. sungguh teramat sayang apabila bencana yang tidak ternilai tersebut tidak berpengaruh apapun atau sedikitpun tidak membuat hati kita tergerak, baik sebagai korban yang selamat, sebagai orang yang punya kaitan dengan sebagian korban, maupun sebagai orang yang tidak terkena bencana maupun tidak ada sangkut paut dari korban tetapi mengetahui bencana itu baik secara langsung ataupun hanya dari berita media massa.
Mungkin kita akan mendapat murka, kalau pengalaman tak ternilai berupa tragedi besar yang Allah tunjukkan di depan mata kita itu tidak berbekas dalam hidup dan segera terhapus dari memory kita tanpa sedikitpun mengubah pandangan, sikap maupun perilaku kita. Oleh karena itu kita perlu mencari pelajaran apa yang bisa diperoleh dari bancana yang pernah terjadi di sekitar kita. Inilah barangkali sedikit diantara pelajaran itu:
Pertama, bencana menyadarkan bahwa kita ini berada di wilayah yang rawan bencana, secara ilmiah mustahil tidak ada lagi bencana di negeri ini. Maka mata harus terbuka untuk lebih waspada dan selalu siap sedia kalau sewaktu-waktu terjadi bencana. Pihak berwenang hendaknya juga menyiapkan peralatan, fasilitas, infrastruktur, organisasi, managemen dalam peringatan dini, tanggap darurat, evakuasi sampai recovery kalau terjadi bencana dan kita semua juga rela ikut berpartisipasi dan memeliharanya.
Kedua, bencana menjadi titik tolak untuk berbenah diri. Berdasarkan sebab terjadinya, ada bencana (sebagian besar) akibat perbuatan tangan manusia manusia dan ada pula bencana (yang hampir) bebas dari campur tangan campur tangan manusia (lihat QS Ar-Ruum 41). Untuk bencana yang diakibatkan oleh "kesalahan" manusia (banjir, longsor, kebakaran hutan, dll), harus ada komitmen dan upaya menghentikan eksploitasi membabi buta terhadap alam dan perbaikan alam yang telah rusak, sehingga bencana semacam itu bisa dicegah. Adapun terhadap bencana yang di luar kuasa tangan manusia (gempa, tsunami, gunung meletus, dll), walaupun manusia tidak punya kekuatan untuk mencegah, tetapi tetap harus berupaya untuk melakukan mitigasi, antara lain mengatur lingkungan, penetapan struktur, konstruksi dan bahan bangunan didaerah rawan bencana, dll sehingga kalau terjadi bencana, kerusakan dan korban bisa ditekan.
Ketiga, seberat apapun bencana yang menimpa, sebagai hamba Allah manusia harus tetap sabar (baca Al Ankabut 1-3). Tidak boleh berprasangka buruk terhadap Allah SWT dan selalu yakin bahwa Allah tidak pernah membebankan sesuatu yang di luar kekuatan manusia. Bahkan menurut sabda Nabi bahwa yang sabar menerima musibah akan memperoleh buah antara lain ampunan dosa-dosanya (HR Al Imam Tirmidzi).
Keempat, musibah bisa dijadikan momentum untuk meningkatkan kesadaran akan kelemahan kita sebagai makhluk dan mengakui kebesaran Allah SWT sebagai Tuhan seru sekalian alam, dan (atas kehendakNya) bencana bisa saja sewaktu-watu merenggut kita. Oleh karena itu bencana hendaknya dijadikan motivasi untuk menguatkan iman, meningkatkan takwa, mengintensifkan ibadah menjalankan perintah maupun menjauhi yang dilarang dan menambah kekhusukan dalam bermunajat mohon perlindungan agar diselamatkan dari segala macam bencana (Meskipun Indonesia bebas gempa itu 99% mustahil, kalau pelepasan energi melalui gempa dicicil kecil-kecil juga akan lebih aman dibandingkan bisa pelepasan sekaligus berupa gempa besar satu atau dua kali saja).
Kelima, bencana adalah wahana bagi kita --yang tidak ikut menjadi korban-- untuk menolong sesama, membantu mereka yang selamat dari bencana tapi menderita, menghibur mereka yang trauma, menyantuni keluarga korban yang kehilangan masa depannya. Ketika ada bencana sedangkan kita lapang bersegeralah untuk berbagi, karena kita tidak pernah tahu (dan juga tidak pernah berharap) kapan ada bencana lagi, seandainya-pun akan ada bencana lagi, kita juga tidak tahu apakah ketika itu kita masih bisa berbuat sesuatu...
Amien..Wallahu a'lam..

Tidak ada komentar: