Ini tidak ada maksud SARA, karena daku merasa tidak ada salahnya seseorang bicara tentang jati dirinya. Daku menjadi orang Jawa itu adalah takdir, karena tidak pernah ada kesempatan bagiku untuk memilih. Aku tidak pernah meminta juga tidak bisa menolak untuk dilahirkan dari rahim orang Jawa, punya bapak orang Jawa atau setidak-tidaknya ada darah Jawa yang mengalir di urat nadi atau ada DNA ciri Jawa di tubuh ini. Kebetulan orang tuaku membesarkanku dalam lingkungan Jawa, sehingga semakin mantaplah ke-Jawa-anku. Dengan demikian, Jawa adalah build-up dalam kehidupanku. Kapanpun dan dalam situasi apapun, seseorang yang ditakdirkan sebagai Jawa tidak akan pernah bisa mengelak atau mengingkari takdir misalnya dengan sengaja menutup-nutupi ke-Jawa-annya.
Memang berbeda dengan Jawa yang sudah “taken for granted”, Islam adalah sebuah keyakinan. Jujur saja memang pada awalnya Islam itu dicekok-kan oleh orang tua yang kemudian diperkuat oleh lingkungan maupun pendidikan, tetapi secara sadar melalui pergumulan batin, diri ini pernah menimbang-nimbang juga untung ruginya memilih Islam. Dari pergumulan yang cukup itu seru memang pada akhirnya, justru semakin memantapkan pilihan, karena terbukti keyakinan itu mampu menjawab kebutuhanku selama ini, mampu sebagai sarana untuk menyalurkan hasrat kerohanianku, bahkan juga mampu melepaskan kegundahan hatiku, di samping tentu saja ada alasan-alasan pribadi yang barangkali tidak mudah dipahami atau dimengerti orang lain.
Setelah melalui proses, dari lubuk hatiku juga haqqul yakin, Islam itu universal, artinya agama bagi seluruh umat manusia, tidak pandang bangsa, ras atau suku, tidak melihat warna kulit, kelopak mata, postur tubuh atau warna rambut. Oleh karena itu diriku yakin sekali bahwa Islam itu pasti cocok juga bagi orang Jawa sepertiku. Karena itu, ketika orang Jawa sepertiku ini memilih Islam maka tidak perlu harus kehilangan ke-Jawa-annya. Islam bukan hanya agama orang Arab, maka untuk menjadi Islam yang baik, tidak perlu harus mengubah diri menjadi Arab. Toh Islam tidak selalu Arab dan Arab tidak selalu Islam.
Jawa adalah jati diriku, karakter yang melekat padaku. Oleh karena itu apapun yang terjadi tidak pernah mengingkari jati diriku sebagai orang Jawa, tidak pernah ada punya niat menghapus atau menutup-nutupi ke-Jawa-an diriku. Nilai luhur seperti menghormati orang lain, tenggang rasa, komitment atau memegang janji itu bukan monopoli orang Jawa saja tetapi juga milik semua bangsa beradab di muka bumi ini. Walaupun dalam penerapan nilai-nilai universal tersebut masing-masing bangsa memiliki kekhasannya masing-masing. Sopan santun orang Jawa akan berbeda dengan sopan santun orang Jepang misalnya. Meskipun berbeda, semua bangsa yang beradab akan saling menghargai satu sama lain, suatu bangsa beradab akan menghargai kekhasan budaya bangsa lain. Orang Barat meskipun tidak terbiasa membungkukkan badan, akan merasa respek kepada orang Jepang yang selalu membungkukkan badan di kala bertemu dengan orang lain.
Daku adalah orang Jawa yang memilih Islam. Apakah karena aku ini Jawa, maka tidak bisa menjadi orang Islam yang kaffah atau yang sebenarnya? Menurutku bisa, karena seperti yang dikemukakan di muka bahwa Islam universal dan nilai-nilai Jawa juga mengadung unsur universalitas, apalagi... Jawa itu cinta harmoni, yakni selalu menjaga kondisi selaras serasi dan seimbang, sehingga budaya Jawa itu terbuka atau mudah beradaptasi. Maka bukanlah sesuatu hal yang mustahil terjadi bahwa seseorang menjadi orang Islam yang sebenarnya sekaligus adalah orang Jawa sesungguhnya. Jadi orang Jawa bisa sekali menjadi Islam yang baik tanpa harus kehilangan ke-Jawa-annya, orang Islam bisa tetap menjadi Jawa tanpa mengorbankan ke-Islamannya. Itulah yang disebut orang Jawa yang Islam sekaligus orang Islam yang Jawa....
Bagaimana menurut anda?
Bagaimana menurut anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar